17|Maaf

78 15 0
                                    

Tubuh itu dikelilingi oleh air asin yang naik dan turun ke permukaan, duduk bersama kerang-kerang dan pasir yabg terendam dalam air.

Senja kali ini tak dipenuhi kebahagiaan, Zidan menekuk lututnya depan dada. Tubuhnya telah basah akibat air asin yang mengelilinginya, duduk bersama ribuan kerang memang sangat mengasikkan. Suara percikan air yang menusuk karang, suara burung-burung yang menandakan berakhirnya hari, dan suara angin yang berlomba-lomba untuk menerpa dunia.

Zidan menghela nafas, tak ada senyuman di bibirnya itu. Zidan menatap handphonenya yang berdering di saku kemejanya, ah entahlah itu siapa. Yang pasti Zidan hanya ingin menikmati kesendirian ini saja.

"Zidan!!"

Bahkan panggilan itu tak berpengaruh untuk mengalihkan atensi Zidan pada cahaya oranye yang indah di depannya.

"Astagfirullah, lo kenapa lagi? Perasaan tadi baik-baik aja, kenapa?" Dimas berjongkok di sebelah Zidan, air asin ini telah membuat ujung celananya basah.

"Zidan mau bunda."

Mata Dimas berair, ia melepas Jas nya kemudian menyelampirkannya di bahu Zidan dan mengajaknya untuk bangun.

"Bangun dulu, ayo. Jangan aneh-aneh gitu lah."

Dimas meletakkan tangannya di kedua pundak Zidan, dia menatap wajah Zidan yang juga menatapnya saat ini. Sementara yang lainnya, hanya menonton dari pinggir pantai.

Dimas memejamkan matanya sejenak lalu membuang nafasnya, ia kembali membuka matanya dan tersenyum ke arah Zidan. "Kamu capek?"

Zidan mengangguk.

"Gak kuat, hm?"

Zidan lagi-lagi mengangguk.

"Ayo kita selesain semuanya sekarang, Papah harus tau semua ini. Abis itu, kita bisa istirahat dengan tenang."

"Istirahat sama bunda kan?" Hati Dimas mencelos, dia sepertinya sudah tidak bisa berjalan lagi.

"Bukan Zidan... Bukan sama bunda, disini. Sama Papah, Viell, Abang, Viuskow. Ya?"

"Tapi bunda bilang, Zidan cukup bertahan satu hari abis itu boleh istirahat sama bunda."

Dimas langsung memeluk Zidan dengan erat. Cukup, Dimas gak mah denger itu lagi.

"Nggak nggak nggak! Pokoknya istirahatnya disini, bukan disana. Sama abang, bukan sama Bunda. Faham?"

"Tapi Zidan udah janji sama Bunda."

Dimas melepas pelukannya, nyatanya ini memang akhir. Dimas menahan tangisnya dan tersenyum, percayalah menangis sambil tersenyum itu rasanya sakit.

"O-oke. Kita selesain, abis itu kamu bisa ke Bunda."

Seulas senyum timbul di bibir Zidan. "Abang, maaf."

"Gak apa-apa, Abang gak apa-apa kok. Ayo, abang janji ini bakal selesai dengan cepat."

Dimas merangkul adiknya itu, dia menggigit bibirnya untuk meredam tangisannya saat ini. Zidan tampak menoleh ke belakang untuk menikmati sunset yang hampir menghilang itu, lalu berbalik kembali menatap teman-temannya itu.

Haedar memeluk Zidan, diikuti oleh Rendy, Jehan dan Jaemin.

"Abang gak sendiri, abang punya kita."

"Edar gak mau abang pergii."

Sebentar, namun sangat berarti. Setelah pelukan itu terlepas, Zidan tersenyum ke arah mereka berempat. Mereka punya memori tersendiri untuk Zidan.

"Gue gak pergi, gue cuma mau istirahat, abisnya capek tau."

Ya, mereka tahu Zidan lelah untuk menghadapi semua ini. Bebannya terpaut berkali-kali lipat lebih berat dari mereka.

Infiblity || NCTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang