Sandyakala memudar, langit indah itu mulai gelap ditelan malam. Lampu jalanan kota satu persatu menyala menciptakan binar yang temaram. Senja hari itu lagi-lagi terasa hampa, disini Aruna menatap langit menunggu gemintang akan bercahaya.
Sunyi dan sepi, rindu dan pilu, semua menyatu seakan-akan berencana untuk menghantam seseorang yang lemah seperti Aruna. Tak ada yang menatapnya lindap atau memeluknya hangat. Senyap, namun terdengar banyak bayang teriakan memaki.
Netra pekatnya mengedar, melihat sekitar yang yakin dalam pendirian dan menutup telinga seolah menolak apa yang akan didengar.
"Berisik"gumamnya bergetar.
Hidupnya tak ada harapan hanya terus berjalan menumpang napas pada bentala dan menunggu detik dirinya tidak beratma. Pasrah, mengikuti aliran air sungai yang akan menghantam bebatuan.
Aruna lebih memilih untuk menunggu daripada mengakhiri ditengah denyut yang mungkin akan ada kebahagiaan.
Gadis berambut panjang sepunggung dengan nama lengkap Aruna Senja Nantari itu berjalan di tepi jalanan yang sudah lengang hanya beberapa orang berlalu lalang se arah dengannya.
Rintikan hujan jatuh ke tanah seolah-olah menjadi sang pelipur lara juga mewakili sanubari yang sudah lejar. Semesta dan dirgantara sepertinya tahu bahwa Aruna bukanlah seorang renjana. Ia membisu terbayang pancarona ditengah kelilingan pijar.
Mendongak ke atas, melihat langit gelap dengan bintang yang tak sebanyak kemarin. Memejamkan mata, merasakan air hujan dan dinginnya angin malam yang perih menusuk-nusuk kulit putihnya.
"Hujan"
Aruna membeliak, membenarkan posisinya menjadi tegap. Membalikkan badannya dan menempati seorang perempuan memakai jas hujan dan membawa payung berwarna biru tua.
" ... Tau"
Hujan semakin deras, perempuan itu memberikan payungnya pada Aruna yang badannya sudah setengah basah.
"Cepet kesana"
"Hah?"
"Hujan, bego. Neduh dulu, kalau nanti sakit mampus dahtuh ribet"
Aruna mengangguk, meskipun ia tak tahu perempuan itu berbicara apa, yang terdengar hanya suara hujan. Ia masih diam ditempat, menunduk melihati sepatu putihnya yang sudah ternoda.
Perempuan itu membuang napas kasar dan segera menarik tangan Aruna untuk berteduh menghindari hujan. Aruna tak berontak, ia ikut saja.
"Nah begini kan mantep"
Mereka berhenti dihalte bus yang kosong aman untuk berteduh. Aruna pada saat itu tak banyak bersuara, ia lebih banyak melamun dan terus menunduk melihati sepatunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eventide
Teen FictionKisah tentang hati dan lisan yang berusaha membunuh, serta tetap diam dikala sekitar penuh canda tawa. Ini semua perihal datang, bertahan, dan kecewa. Terasa singkat, namun belenggu sakit hati mencoba Sang Senja agar berhenti, begitu dirasakan, wakt...