10. Karton Pink

26 4 0
                                    

Haikal melirik kanan dan kiri selagi melajukan motor dengan pelan, melihat satu persatu rumah mewah yang berada disebuah komplek perumahan.

Sedari tadi, ia terus mengelilingi komplek tersebut yang menurutnya adalah kumpulan rumah-rumah konglomerat, sebab sejak masuk kedalamnya hampir semua rumah berdesain seperti kerajaan, ada juga rumah modern namun terlihat besar dan elegan.

Lelaki hitam manis itu sedang mencari kediaman Aruna, yang katanya berada diperumahan ini, itupun ia tahu dari Asep, namun Asep tidak menyebutkan letak pasti rumah Aruna. Sebelumnya Haikal juga menanyakan kepada satpam setempat, 'Ardi Prayoga, kalau gak salah rumahnya nomor dua lima' kata Pak Satpam tadi. Nama yang cukup familier bagi Haikal.

"YaAllah, ini ngapa wangi duit menyengat banget lewat sini"gumam Haikal, menggaruk dagunya yang tak gatal. "Dua lima, dua lima, ayo goyang dua lima~ becanda.."

"Hm.. NAH!! Dua lima nih!"

Haikal berhenti tepat didepan gerbang salah satu rumah. Kemudian ia melirik sekilas kearah jalanan. Dengan tangan kanannya yang menggenggam sebuah karton berwarna merah muda, Haikal turun dari motor--- fyi ini bukan motor miliknya, melainkan milik Raja, motor yang amat kalem nan damai--- lalu menghampiri penjaga yang sedang duduk didekat pagar hitam tinggi. "Assalamualaikum, Pak"ucap Haikal sopan.

"E-eh, Waalaikumsalam"jawab Pak Yudi langsung berdiri dari duduknya.

"Punteun Pak, bade tumaros. Lereus ieu sareng bumina Ardi?---eh Aruna maksudnya"tanya Haikal dengan suara yang dilembutkan, terkesan seperti anak yang sangat sopan santun.

"Muhun, Jang, lereus. Aya periogi naonnya?"

"Ini karton punya Aruna, kalau boleh, tolong kasihin ya, Pak. Punteun pisan ieu mah bilih ngarepotkeun.."

"Ooh.. Iya-iya, yaudah atuh nanti saya kasihin kartonnya. Moal kalebeut heula, Jang? Bisi bade pendak sareng Neng Aruna"

Haikal pun tersenyum kikuk. "Ah, teu sawios, Pak. Ini juga mau pulang lagi ke sekolah, hehe. Yaudah atuh ya. Nuhun pisan, Pak. Nanti bilang ke Aruna, ada salam gituh dari Kim Jong Un"

"Oke lah, siap!"

Diakhiri ucapan terima kasih dan permisi, Haikal kembali menaiki motor lalu menyalakan mesin, dan membunyikan klakson pertanda ia pamit akan pergi.

Jarak dari sekolah ke rumah Aruna tak terlalu jauh, jadi tidak memakan banyak waktu jika pakai motor.

Haikal akhirnya keluar dari kawasan perumahaan elite tadi, dan langsung melanjutkan perjalanannya menuju sekolah. Ia masih ada ekskul.

***

Kini, Aruna tengah mengetuk-ngetuk jari telunjuknya pada pintu putih dihadapannya. Dengan badan tergeletak dilantai dan menghadap ke kanan. Wajah putihnya terdapat bercak merah, matanya sembab terasa panas.

Langit mulai menggelap, matahari terlihat tenggelam, diganti dengan bulan yang akan bercahaya ditengah malam gulita. Sampai detik ini, Aruna masih tak ada minat untuk meraih benda pipih bercahaya dibelakangnya itu.

Sayup-sayup suara yang terdengar dari Masjid sekitar mulai berhenti, kemudian Adzan langsung berkumandang. Aruna menghentikan kegiatannya tadi---mengetuk ngetuk pintu---kemudian ia bangkit untuk berdiri.

Sisa warna senja masih menyemburat diujung sana, langkah kaki Aruna tersoroti sedikit cahaya yang menyelinap disetiap celah-celah jendela. Masih dengan baju sekolah yang berantakan, ia menoleh ke arah cermin yang langsung menampilkan sosok perempuan cukup berisi, namun sedikit tertolong oleh tinggi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 07, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

EventideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang