𝐋𝐢𝐦𝐚; 𝐁𝐚𝐠𝐢𝐚𝐧 𝐓𝐞𝐫𝐬𝐮𝐥𝐢𝐭

21 17 4
                                    

"𝙆𝙞𝙩𝙖 𝙨𝙚𝙢𝙪𝙖 𝙢𝙚𝙢𝙞𝙡𝙞𝙠𝙞 𝙩𝙪𝙟𝙪𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙨𝙖𝙢𝙖. 𝙔𝙖𝙞𝙩𝙪, 𝙗𝙖𝙝𝙖𝙜𝙞𝙖.
𝙎𝙖𝙩𝙪 𝙠𝙖𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙧𝙪𝙢𝙞𝙩, 𝙪𝙣𝙩𝙪𝙠 𝙢𝙚𝙣𝙟𝙖𝙙𝙞 𝙣𝙮𝙖𝙩𝙖.

●♡。♥●♡。♥●♡[-_-]╠♥

Kebahagiaan adalah impian semua umat manusia. Tidak dapat dipungkiri, jika kehadirannya membawa dampak yang cukup, mengubah tatanan perasaan seseorang. Hingga, muncul beragam spekulasi dari arti bahagia. Bahkan, banyak dari mereka yang melakukan segala hal untuk mendapatkan makna dari kata bahagia.

Menurut Violet, bahagia adalah saat dirinya memiliki seseorang yang menyayangi dia sepenuh hati. Orang yang suatu saat nanti bisa mengubah pandangannya tentang luka dan air mata. Dia yang tidak meninggalkan, bahkan, saat kakinya pincang atau rupanya tak lagi sempurna.

Violet sendiri sebenarnya bingung. Kenapa banyak sekali orang-orang yang mengupayakan diri sendiri agar bisa menjadi orang lain. Sampai mengubah karakter dan ciri khas. Padahal, baik dan buruknya sikap kita kembali kepada orang yang mau menerima kita apa adanya. Toh, manusia tidak ada yang suci. Betul, kan?

"Seandainya, semua berjalan dengan baik." Violet menghela napas, panjang. Seolah ada sesuatu yang mengganjalnya untuk bernapas. Mungkin, adalah beban rasa lelah.

Dia melirik ke arah buku paket Kimia, di sisi kanan meja belajar. Dan, buku paket Biologi, di seberangnya. Dekat dengan tumpukkan komik bahasa Korea yang memang Violet simpan, asal, dan akan dia baca saat dirinya, malas belajar.

Suara ketukkan yang berasal dari pintu kamarnya, membuat Violet mengurungkan tangan untuk mengambil sticky notes––letaknya di atas komik bahasa Korea, berjudul I'm In Love––yang baru 8 jam lalu diberikan oleh Michael kepadanya.

Gadis itu berjalan menuju sumber suara––mengikuti anggai dari indera pendengarannya. Tangan kurusnya menggapai daun pintu dan memutarnya searah jarum jam. Menampakkan seorang wanita tidak asing, yang tersenyum di depan Violet.

"Bundaaaaa!" sahut Violet, riang.

"Non, ya, ampun! Jangan panggil Bunda! Saya jadi sungkan sendiri ini." Wanita berdaster batik dan mengenakan khimar ukuran jumbo itu memukul punggung Violet, pelan. Dan disambut tawa cekikikan dari Violet.

"Kenapa, Bun?" tanya Violet, nakal, karena masih tidak mengubah panggilannya. Sedang, Sekar––wanita yang sudah mengabdikan diri sebagai ART di keluarga Prasetya selama 17 tahun––memandang ke arah Violet, lembut.

Tatapan mata Sekar kepada Violet, seperti seorang ibu yang menatap mata anaknya. Benar saja, karena Sekar adalah wanita yang mengasuh Violet saat umurnya masih 2 bulan. Kedekatan Violet bersama dengan Sekar lebih sering, daripada dengan Maya, ibu kandung Violet.

Sekar melirik kondisi kamar Violet sekilas. Kemudian, menarik napas panjang, saat banyak barang yang ditaruh tidak pada tempatnya itu.

"Dipanggil sama bapak, Non. Suruh ke bawah."

Air muka Violet yang mulanya ceria itu berubah datar. Bagi anak-anak seusia Violet, sosok ayah adalah pahlawan bagi keluarga. Gerbang yang melindungi putrinya dari segala macam bentuk kejahatan. Tapi, bagi Violet. Papanya tidak lebih dari sekadar mesin yang menggerakkannya.

Violet seperti dipaksa melakukan sesuatu yang tidak pernah dia sukai. Seperti, misalnya, masuk jurusan IPA di SMA Someday padahal dia tidak ada ketertarikan di sana. Violet juga harus mempelajari beberapa buku kedokteran dan harus unggul di pelajaran Biologi.

Saranghae, Cogan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang