4. Hening yang Gaduh

8.3K 974 175
                                    

***

Mereka terjebak di dalam hening yang gaduh karena detakan jantung yang hebat. Juga karena riuhnya pikiran yang terus bersenandika."

***


Kania kembali ke kediaman keluarga Winata. Wanita itu baru saja berlari kecil di sekitaran kompleks. Kebiasaan yang kini sudah jarang dilakukannya, yaitu berlari kecil.

"Eh, Kania, habis darimana?"

Kania tersenyum kala matanya menatap istri ayahnya. Ia lantas melangkahkan kaki mendekat ke arah Bunda yang berada di dapur.

"Habis jogging bund."

Bunda mengangguk sambil tersenyum, "Wih, bagus bagus. Minggu pagi emang hari yang pas buat dipakai jogging."

Kania hanya mengangguk. Duh, ia pergi jogging pagi ini bukan karena minggu pagi, tetapi karena seseorang memenuhi pikirannya. Barangkali kalau dipakai berlari kecil, pikiran itu akan berkurang.

"Udah hampir jam delapan, tapi kok kayak masih sepi?" ucap Kania sambil duduk di atas kursi di dapur, ia sedang meminum air untuk melegakan dahaganya.

"Iya nih. Ayah sama Eduard lagi keluar ngurus sesuatu."

Kania mengangguk, tanda mengerti. Ternyata kakak laki-lakinya sudah tak berada di rumah ini. Kania jadi merasa sedikit lega. Kalau kakak laki-lakinya tak lagi disini, itu berarti istri orang itu juga sudah tak disini kan?

"Anne, Bunda nggatau anak itu udah bangun apa belum. Ada di kamar atas, sama mommy nya."

Kania meringis. Ternyata perkiraannya salah. Namun begitu ia tetap memberi respons sebagaimana mestinya.

"Kalau gitu Kania mau ke atas dulu ya, Bund."

Ketika netranya menatap Bunda yang mengangguk, Kania lantas berbalik, dan akan melangkahkan kakinya menuju tangga melingkar beralaskan karpet merah yang terletak tak jauh dari dapur.

"Ehh, Kania. Sebentar."

Kania berbalik. Ia lantas menuju ke dapur lagi, Bunda baru saja memanggilnya.

"Iya bund? Ada apa?"

Bunda tampak sibuk menyiapkan sesuatu di atas nampan. Ada susu dan buah disana. Kania mengernyit heran.

"Kamu mau ke atas kan? Bunda sekalian minta tolong dong---"

Duh, Perasaan Kania tak enak.

"Ini, tolong anterin ke kakak ipar kamu. Bunda masih harus lanjut ngerjain sesuatu di dapur."

Tuh Kan. Perasaannya tak salah. Duh.

"Eum, I-iya Bund."

Mau tak mau Kania lantas mengambil nampan itu. Dan lalu berbalik, berjalan menjauh dari area dapur.

Tapi wanita itu tiba-tiba berbalik lagi. Kakinya kembali melangkah ke dapur.

"Eh Bunda, tinggal cuci piring dan temen-temennya kan? Kania aja gapapa."

Bunda yang tadi membelakanginya, lantas berbalik. Mereka berdua bertatapan. Bunda mengeluarkan ekspresi herannya. Tadi Kania kan sudah mengiyakannya, tapi kok sekarang..?

"Oh jadi kamu nolak ngantar nampan itu buat istrinya Mas Ed?"

Kania gelagapan.

"Uh? Eh, enggak kok bund. Hehe,"

Bunda menyipitkan matanya, "kalau gitu tolong dianter."

"Uhm, iya deh. Sini Kania antar."

"Ikhlas nggak? Kok kayak setengah ikhlas gitu sih?"

Renjana [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang