Cahaya terakhir

7 0 0
                                    

(S)



     Salah satu kebiasan dari kecil yang sering ku bawa hingga sekarang; adalah kebiasan ku untuk sulit beradaptasi dengan lingkungan baru. Semalam aku tidak mendapatkan cukup tidur. Dan kini, saat mentari baru empat jam kedepan akan muncul, aku sudah bersandar menikmati dingin nya kota malang dengan sweeter ku. Menikmati malam yang akan segera berganti dengan pagi di sekitaran balkon vila. 

    Pukul setengah enam nanti beberapa mobil jeep akan menjemput kami ke vila. Dari sana, perjalanan kami menuju gunung yang terkenal dengan indah nya yang memukau itu akan di mulai.

     "Nan?". Darius mengelap kacamata nya dengan kain.

"Tumben dah bangun Nan?". Darius lalu menggunakan kacamata nya.

"Kebangun aja". Jawab ku.

"Dingin banget asli Malang yak?". Darius lalu mendekati ku sembari memeluk erat tubuh nya yang di balut hoodie itu.

"Namanya juga masih malem, eh lu kebangun juga?".

"Gk tidur gw".

"Kebiasaan emang".

"Yah gimana, gabisa tidur".

"Surah siapa ege. Kana gimana?".

"Liat aja sendiri". Aku lalu mengarahkan pandangan ku kedalam kamar.

   Kana masih tertidur pulas di dalam. Dan tentu, dengan tubuh panjang nya yang memakan ruang.


"Dahlah gw mau masuk lagi ke dalem". Darius berjalan memasuki kamar.

"Ngapain? Enak lho di luar. Sejuk".

"Yah tidur lah, dapet sejam dua jam lumayan".

"Oooohhh okee".


   Kini yang tersisa hanya sunyi, namun gemuruh. Sunyi di luar, bergemuruh di lamunan. Sering terjadi di kala aku sendiri. Bahkan saat kondisi sedang ramai sekali pun.

    Aku kembali mengadahkan pandangan ku ke langit malam. Dingin, sunyi, di balut bising nya kepala. Tiba - tiba saja, rupa sosok seorang wanita muncul di kepala ku. Fati. Aku tidak tau rasa apa yang menghantui ku sejak awal bertemu dengan nya. Namun ini terlalu kuat untuk ku hilangkan begitu saja. Terlebih setelah entah bagaimana aku bisa mencium nya malam itu. 

   Ini belum terlalu fanatik untuk ku sebut sebagai rasa cinta, tapi terlalu kuat jika ku sebut ini tidak berasa. Tapi, jika boleh percaya diri, dari mata gadis itu, aku yakin ia menyimpan sesuatu di lubuk hati nya. 

 TIIN........................... TIN................... TIN.............

    Entah dari mana, tapi suara klakson mobil terdengar samar di telinga ku. Aku menepuk pelan kedua pipi ku. Aku sedang tidak bermimpi. Suara itu perlahan hilang. Aku kembali menikmati dingin nya kota itu. Wajar saja jika aku menganggap suara yang datang itu tidak masuk akal; sebab, vila kami menginap malam ini, berada cukup jauh dari kota. 

Tiin............ tin..... tin..................

      Suara itu kembali terdengar. Semakin lama, semakin jelas. Aku menggeleng - geleng kan kepala ku. Memukul - mukul keras batok kepala ku itu. 

   Suara klakson itu semakin nyaring, bergema bersama suara - suara acak lain nya. Teriakan, tangis, dan, seseorang memanggil nama ku.

  "SENAN!! SENAN!!!". Bisikan itu menggema di telinga.

"AKH!!! APA APAAN!!". Aku mundur cepat, ter duduk bersandar di pintu kamar.

   Aku lalu menunduk kan kepala ku sembari menutupi kedua telinga ku. "AKH!! SIALAN!! DEN!!!" Aku berteriak memanggil Darius, aku mencoba melirik ke dalam kamar melalui jendela. Gelap. 

   Aku kembali menggelengkan kepala ku. "Senan!!!". Aku menatap lirih ke depan tatkala suara itu memanggil ku. 

Itu... Fa.... 


BLAARRRR.............

   Suatu sinar menyilaukan mata ku. Mataku menjelma samar. Sementara suara - suara bising tadi, tak dapat lagi ku dengar. 


Masih banyak yang belum sempat
Aku katakan
Padamu
Masih banyak yang belum sempat
Aku sampaikan
Padamu
Masih banyak yang belum sempat
Aku katakan
Padamu

Masih banyak yang belum sempat
Aku sampaikan
Padamu
Masih banyak yang belum sempat
Aku katakan
Padamu
Masih banyak yang belum sempat
Aku sampaikan
Padamu


- Pilu membiru.

Korelasi AmorfatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang