Sudut pandang.

3 0 0
                                    

(F)

     Hari terakhir ujian pun tiba. Selanjut nya, selama dua minggu para siswa - siswi akan mengistirahatkan dirinya. Hari terakhir selalu menjadi hari dimana mata pelajaran yang di ujian - kan adalah yang termudah. Pelajaran seni dan PJOK termasuk pelajaran yang mudah bagi ku. 

    Aku menyelesaikan ujian PJOK pada tiga puluh menit pertama. Dan kini adalah jadwal ujian ke dua, sekaligus hal terakhir yang sepertinya akan aku lakukan di sekolah ini sebelum akhirnya mungkin tidak akan kemari selama dua minggu full. 

   Waktu sudah berjalan selama dua puluh menit sejak ujian di mulai. Tapi kendati demikian, aku sudah menyelesaikan tiga puluh sembilan soal dari empat puluh soal yang ada. Hanya tinggal menghitamkan salah satu pilihan, maka aku akan benar - benar selesai dengan semua ini. 

"karya seni yang memiliki dua ukuran atau sisi yaitu panjang dan lebar saja adalah karya seni rupa .... dimensi". Gumam ku tatkala membaca soal terakhir. 

   Aku tersenyum lebar, lalu menghitamkan salah satu kolom berisikan hurup A di tengah nya. Setelah benar - benar yakin, aku kemudian berdiri dan berjalan menuju meja guru. 



    Seorang guru pengawas yang sedang memperhatikan absen siswa pun terkejut melihat ku berdiri di hadapan nya. Ia melepaskan kacamata yang memeluk lekat wajah nya. 

"Fati kamu beneran udah yakin bener semua?". Pengawas itu menatap ku tak yakin. 

   Aku tersenyum sembari mengangguk. "Kalau bener salah nya saya tidak tau bu, tapi saya udah yakin sama apa yang saya lakuin".

"Oh yasudah kalau begitu, silahkan keluar". Pengawas itu mengambil kertas di tangan ku, lalu mempersilahkan ku untuk keluar ruangan. 


   Aku lalu berjalan cepat menuju arah luar setelah menggendong tas rucksack ku. "FATII!! PARAH LU GK BAGI TAU GW!!". Bisik keras Dessy dari arah kanan. Aku menjulurkan lidah ku mengejek nya. Ia kesal, namun aku tidak peduli. Mau bagaimana pun Dessy harus berusaha sendiri mengingat ini untuk kebaikan nya juga. 


   Koridor sekolah sangat sepi, hanya ada beberapa guru lalu - lalang di sana. Aku kemudian melirik arloji ku. 10:35. Aku kemudian membuat kedua kaki ku berjalan menuju kafe di sebelah sekolah. 

   Kafe juga sangat sepi, hanya ada beberapa pengunjung di sana. Aku kemudian berjalan menuju meja barista. "Latte satu mas". Ucap ku.

   Aku kemudian memilih kursi di dekat jendela sebagai tempat untuk duduk. Tak lama pesanan ku pun datang. Aku melepaskan tas ku yang sedari tadi ku gendong. Aku mulai menyeruput tipis - tipis kopi itu. 


Kliring.....

   Bell di atas pintu kafe berbunyi. Aku mendapati shiluete seorang yang sangat aku kenal di sana. "Karamel mas". Ucap nya kepada barista. 

   Mata gadis itu menerawang ke sana kemari, hingga akhirnya kedua pasang manik mata kami bertemu. Setelah memegang segelas penuh karamel, gadis itu kemudian berjalan menuju arah ku. 

"Yan! tumben lu kesini, biasanya kalau udah beres ujian lu bakal langsung rebahan di rumah".

"FATI!. Gak apa - apa lah sekali - kali, lagian haus juga gw. Eh lu sendiri aja nih?". Dean mengejek ku. 

"Maksud loe?".

"Senan mana?".

"Lah mana gw tau, kan sekelas sama lu".

"Dia udah selesai dari delapan belas menit pertama, terus pergi aja gitu. Selisih lima menit sama gw". 

"Motor nya ada ga?". 

   Dean lalu melihat ke arah luar, melihat menuju parkiran sekolah yang terlihat jelas dari dalam kafe ini. 

"Gada". Dean meneguk karamel di hadapan nya. 

"Emang mau apa nyariin dia?". 

"Yah ngobrol - ngobrol aja. Sama gw mau tanya sesuatu sama dia".

"Tanya apa?". Entah dorongan dari mana, tapi rasanya relung ku merasa perlu tahu.

"Gw suka bingung aja harus ngehadapin orang yang curhat gimana, Senan selalu punya caranya sendiri gitu buat jadi pendengar sekaligus pemberi saran yang baik. Eh Fat, lu kan sering hangout sama dia, lu mungkin tau caranya Senan ngehadapin orang curhat?". 

   Aku kembali menyeruput latte milik ku. Aku berdeham. "Sebenernya sih, dia gk ngajarin atau ngasih tau apa - apa tentang caranya ke gw. Tapi hal yang gw pelajarin dari dia tuh, dia orang nya open minded sama... Lihat masalah nya dari berbagai sudut pandang gitu". 

   Dean menaik kan alis nya. "Sudut pandang gimana maksud nya?". 

"Yah jadi, kalau gw yg curhat ke dia waktu itu. Waktu gw ada masalah sama orang, yang terjadi adalah dia gk nge support gw. Dalam artian, pas ada masalah itu, yang Senan lihat pertama kali bukan sudut pandang gw". Aku kembali menyeruput latte ku sebab tenggorokan ku mulai kering.

"Tapi?".

"Tapi sudut pandang orang yang gw anggap bersalah. Dia langsung apa yah, seakan menjadi sosok yang gw anggap bersalah itu. Terus seakan nampar gw dengan pernyataan nya kalau ternyata yang terjadi gak seburuk yang gw kira. Sebab dia juga nyadarin gw kalau di balik masalah tuh, mungkin yang sebener nya terjadi bukan cuman gw yang tersakiti atau kecewa, tapi orang juga". Dean mengangguk.

   "Kesan nya mungkin seakan dia gk mihak ke gw, tapi dia nyadarin gw buat gk egois". Dean kembali mengangguk. 

"Tapi gimana caranya Senan bisa mengambil sudut pandang orang lain terus berasa seakan dia emang orang itu?". Kini Dean yang mulai berbicara.

"Gw pernah tanya soal itu. Katanya, dari sekian banyak orang yang dia kenal, dan sekian banyak novel yang dia baca, dia jadi paham gimana rasanya jadi orang lain. Secara gak langsung dia bisa tau banyak kepribadian orang dan sudut pandang orang". 

"Se detail itu yah dia?. Gw baca novel yah baca aja gitu, malah kadang gatau apa pesan moral ceritanya". Dean kembali meneguk karamel nya. 

"Dia emang beda orang nya Yan, lu beruntung bisa jadi temen deket nya". Ucap ku. 

"Hahaha bisa aja la'u. Eh tapi kalau gw jadian sama dia kayanya keren yak? dia jadi pendengar yang baik gitu buat gw". Deg.... 

   Relung sukma ku terbakar. Setelah Dean berkata demikian, entah mengapa tiba - tiba saja perih menyambar. 

"Iya, Lu- cocok sama dia".  Se tidak sadar itu kah Dean, sehingga tidak menyadari bahwa sebenarnya ada sesuatu ada sesuatu yang terjadi secara batin antara aku dan Senan?. Atau memang Senan tidak pernah menceritakan perasaan nya kepada Dean?.

"Ko lu malah ngelamun Fat?". Ucap Dean.

"Eh enggak - enggak". Aku tersenyum sembari menggelengkan kepala dengan cepat.

   Sesuatu mengusik nalar ku, rasanya batin ku terbakar meski aku tidak tahu apakah Dean bersungguh - sungguh dengan ucapan nya atau tidak. 


Korelasi AmorfatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang