Adam terbangun saat merasakan lututnya begitu nyeri. Saat dilihat, bagian itu memang bengkak dan membiru. Dia mencoba bangun dan berjalan tapi rasa nyeri semakin menghebat, ingin menelepon beberapa staf tapi ini masih jam empat pagi.
Adam mencoba berjalan dan memasak air di teko listrik yang terletak di nakas, lalu mengambil handuk kecil di kamar mandi. Dengan pelan dia mengompres memar itu agar nyerinya berkurang.
Tangan besarnya mencari-cari sesuatu di laci, berharap ada minyak gosok atau apa pun yang bisa mengobati. Nihil, dia lupa kalau ini di hotel, bukan rumah sendiri.
Hingga beberapa saat Adam terbangun karena bunyi alarm di ponsel. Ternyata dia ketiduran setelah hampir setengah jam mengompres lututnya.
Adam berjalan ke kamar mandi, mencuci muka dan menggosok gigi. Nyerinya sudah berkurang, tapi sepertinya dia tidak bisa ikut touring hari ini. Tunangannya pasti kecewa karena sudah mengorbankan banyak hal. Sekalipun anak direktur utama, tidak ada perlakuan spesial yang diberikan kantor. Cintia tetap membiayai semua fasilitas yang dipakai.
"Halo?" Adam menjawab panggilan saat nama sang kekasih tertera di layar ponselnya.
"Kita sarapan bareng ya, Mas. Aku tunggu di restoran," ajaknya. Hari ini memang hari yang dinanti, jadi Cintia akan memanfatkan waktu dengan sebaik-baiknya.
"Cin."
"Ya?"
"Kayaknya mas gak bisa ikutan. Lutut bengkak," katanya.
"Loh, kenapa? Kaki mas masih sakit? Itu gimana jadinya? Tapi kan--"
Sederet pertanyaan yang terlontar dari bibir gadis itu, justru membuat Adam semakin pusing. Dia hendak menjelaskan, namun pertanyaan Cintia persis seperti daftar belanja bulanan mamanya, panjang dan tak berkesudahan.
"Cin!" Akhirnya sebuah bentakan menghentikan semua pertanyaan itu.
"Mas adam kok bentak aku?" katanya merajuk.
"Maaf. Bukannya maksudnya begitu. Mas mau jelasin. Kamu ini gak berhenti nanya dari tadi," katanya dengan sedikit menyesal.
"Yaudah, apa?"
"Kaki mas bengkak, susah mau jalan. Ini udah nge-chat dokternya, cuma belum di-respons. Kamu ... bisa bawain mas sarapan ke atas? Mas lapar."
Hening. Lalu isak tangis terdengar di seberang sana.
"Cin, are you okay?"
"Mas Adam kenapa gak bilang. Kan kasihan kalau perutnya lapar. Mana kakinya sakit begitu," kata Cintia disela tangis.
Adam mengusap tengkuk berkali-kali, lalu berkata," Sekarang kamu bawain makanan, ya."
Adam menutup panggilan dan menunggu. Entah siapa yang akan datang duluan, kekasihnya atau dokter yang sejak tadi belum membaca pesan.
Pintu kamar diketuk. Adam membukanya dan mendapati dokter perusahaan datang dengan wajah kusut sambil membawa tas berisi berbagai macam obat.
"Sakit apa Pak Manager?" katanya sambil meletakkan tas di nakas dan bersandar di sofa, karena masih mengantuk.
"Nih!" Adam mengangkat celana kainnya hingga ke lutut dan menunjukkan bagian yang membengkak.
"Ya ampun. Saya kira cuma luka kecil," katanya kaget.
Semua orang juga tahu kalau Adam terjatuh saat mengikuti perlombaan. Hanya saja dia tak menyangka jika sampai separah ini hingga membiru dan sedikit bengkak.
"Bapak duduk di sini." Dokter itu menepuk sofa lalu segera memeriksa dan memberikan Adam obat penghilang nyeri.
"Auww." Adam berteriak kesakitan saat lututnya dioleskan salep.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me & My Ex [Tamat/Cetak Buku]
RomanceAlena bertemu kembali dengan Adam, mantan suaminya pada suatu interview kerja dimana laki-laki itu adalah manager personalia di perusahaan tempatnya melamar. Mereka pernah jatuh cinta dan menikah di usia muda. Namun bercerai karena emosi dan ketidak...