2

679 87 1
                                    

.
.
.
.

Karin menatap langit malam Konoha dalam diam. Tidak peduli meski angin nakal menerbangkan surai merah darahnya, bahkan dinginnya udara yang terasa menusuk hingga ke tulang bagian terdalam tidak membuatnya gentar sedikit pun. Tatapannya beralih pada sebuah bingkai di tangannya. Sebuah bingkai berisi foto yang menyimpan banyak kenangan manis di dalamnya. Jari-jari lentiknya mengusap lembut dan sangat hati-hati.

"Kapan kau kembali, aku rindu." air mata yang selama ini Karin tahan mati-matian akhirnya luruh begitu saja merasakan perasaan rindu yang terasa mencekik. Karin menangis dalam diam memeluk foto penuh kenangan itu begitu erat, berharap rasa rindunya dapat tersampaikan.

..................

Di lain tempat pada malam yang sama, sepasang emerlard cerah memandang ponsel miliknya dengan dahi mengkerut. Alisnya bertaut begitu dalam memikirkan seseorang yang sangat berarti untuknya.

Jari lentiknya menyugar rambut panjangnya pelan. ''Aku harus bagaimana?! Berpikir... berpikir ayo berpikir Sakura.''

Gadis berhelaian merah muda itu menghempaskan tubuhnya di atas ranjang miliknya dengan posisi terlentang. ''Apa sebaiknya aku pulang saja ya? Tapi... Ah benar! Aku akan pulang. Papa pasti setuju,'' finalnya tersenyum lebar. Kepala merah mudanya mencoba menyusun beberapa alasan logis untuk melancarkan aksi merayu papanya.

"Ahh, rasanya tidak sabar bertemu mama dan Karin." ia meraih boneka kesayangannya, memeluknya erat dan dengan tiba-tiba melemparnya sembarang arah.

Sakura segera bangun dan mengibaskan rambut merah muda sepunggungnya penuh percaya dari. Kaki jenjangnya melangkah dengan anggun, saatnya mencari papanya dan melaksanakan rencana mulianya.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Iris rubbynya mengitari penjuru kantin mencari tempat yang sekiranya kosong untuk ia tempati seorang diri.

Karena Shion dan teman-temannya yang selalu menindasnya, sebagian dari siswa-siswi di Konoha High enggan berteman dengannya dan lebih memilih cuek karena tidak ingin terlibat dengan Shion dan komplotannya. Hanya sebagian dari mereka yang mau mengakrabkan diri dengannya. Seperti Hinata dan dua orang gadis yang tengah tersenyum lebar padanya saat ini.

"Hai Karin! Boleh bergabung?" 

"Ah iya, tentu." Karin tersenyum kikuk membalas sapaan ramah dari salah satu gadis itu.

''Terimakasih,''

"Ku kira ada menu baru di sini, melihat kantin yang lebih ramai dari biasanya,"

"Apa kantin yang ramai selalu berkaitan dengan menu baru?''

''Ya mungkin saja, kan? orang akan mudah bosan kalau menunya itu-itu saja, kurasa tidak ada salahnya jika mereka mengeluarkan menu baru.''

''Bukankah itu sesuatu yang sangat merepotkan? Lagi pula menu yang sekarang tidak terlalu buruk.''

''Tidak heran sih, kau itu kan kurang inovatif.''

''Nyenyenye....''

Karin mengulum senyum menyaksikan perdebatan di hadapannya, ''kurasa menu saat ini sudah cukup, dan mungkin yang dikatakan Ino ada benarnya, menambah menu baru terdengar bagus.''

Tenten berdecak sebal saat Ino tersenyum lebar karena pembelaan tidak langsung Karin.

"Nah Karin, dari pada ke kantin sendiri, kita bisa pergi bersama tidak usah sungkan iya, kan Tenten?" Ino melirik sambil menepuk punggung Tenten yang sedang menyuapkan makanan ke mulutnya.

"Uhuk uhuk.." Ino hanya terkekeh telah membuat Tenten tersedak, ia menyodorkan minum saat dihadiahi delikan tajam dari sahabatnya.

Karin meringis ngeri melihatnya, pasti sakit. "Um iya, jika kalian tidak keberatan." gumamnya lirih namun masih bisa di dengar dua gadis di depannya.

"Eehh, tentu saja tidak, kami tidak merasa keberatan sama sekali." Tenten menjawab dengan ceria melupakan begitu saja kekesalannya.

"Terimakasih, aku merasa senang memiliki teman seperti kalian."

"Tenang saja, kau bisa selalu mengandalkan kami." sambung Ino dengan semangat yang di angguki Tenten tak kalah semangat.

"Ya, dan jika orang-orang jelek itu menggangu mu, kau bisa mengatakannya pada kami, kami dengan senang hati menjambak dan mencakar wajah sok mereka." tambah Tenten menggebu-gebu memperagakan gerakan seolah olah sedang mencakar.

Helaan napas keluar dari bibir mungil Karin, "itu tidak perlu, biarkan saja mereka, aku tidak ingin kalian terlibat."

Karin menundukan kepalanya, pandangan rubbynya menjadi lesu ketika mengingat Shion dan teman-temannya. Cukup dirinya saja yang sudah terlanjur berurusan dengan Shion dan komplotannya, Karin tidak ingin orang-orang yang berada di sekitarnya terlibat masalah karena dirinya, alasan itu pula yang membuatnya enggan memiliki teman.

Sedangkan Ino dan Tenten saling pandang kemudian menyeringai, 'itu tidak akan mungkin' tentu saja itu hanya mereka ucapkan dalam hati.

.
.
.
.
.

     

"Papa, menurutmu apa Karin senang aku akan satu sekolah dengannya?" tanyanya pada pria paruh baya disampingnya dengan tetap memfokuskan emerlardnya ke jalan.

Suara kekehan dan tepukan di kepalanya mengalihkan atensinya pada sang Papa. "Kau itu bicara apa, tentu saja dia akan senang..."
"kau lupa siapa yang tidak berhenti menangis saat kita pindah ke Suna waktu itu."

Gadis merah muda itu mengerutkan alisnya kemudian terkekeh saat mengingat kejadian empat tahun lalu, "Papa benar! Aku tidak mungkin lupa betapa cengengnya kembaranku itu."

Saat usianya menginjak empat belas tahun, Papanya harus pindah ke Suna sementara waktu, karena urusan pekerjaan, dan saat itu ia juga sangat ingin ikut karena merindukan nenek dan juga sepupunya. Alasan lainnya untuk memastikan keadaan papanya tetap baik-baik saja. Sesekali ia dan Papanya akan pulang ke Konoha atau mamanya dan Karin yang berkunjung ke Suna jika sedang senggang.

Senang? tentu saja ia senang bisa pulang ke tanah kelahirannya dan berkumpul dengan keluarganya secara utuh. Awalnya ia tidak menyangka kalau Papanya akan memenuhi permintaannya untuk pulang ke Konoha. Yang lebih mengejutkan lagi ternyata Papanya memang sudah merencanakan kepulangan mereka karena pekerjaan di Suna memang sudah selesai.

Semakin tidak sabar rasanya untuk melihat reaksi mama dan saudari kembarnya saat mengetahui kepulangannya.

.
.
.
.

The Bond Between Sister Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang