"Jika badai kecil datang, jangan takut dan jangan lari, coba belajar menghadapi dengan tersenyum."
—Sagara mode bijakKeringat membanjiri pelipisnya, dadanya sesak dan napasnya tak seperti biasa. Tubuhnya mencoba berdiri, walau kedua kakinya bergetar tak menyetujui. Penglihatannya buram dihalangi kaca yang siap pecah saat itu. Tapi dia mencoba tetap berdiri, berjalan kearah pintu. Belum sampai meraih gagang pintu, tubuhnya sudah luruh tak kuat menyangga. Ia terjatuh meringkuk diikuti kedua mata yang tak lagi terbuka. Wajahnya pucat pasi, pikirannya kemana-mana.
"Bang Gara, tolong Vano."
Suaranya bergetar pilu, ingatannya kembali kemasa lalu saat penculikan itu. Vano menggeleng-gelengkan kepalanya cepat, mencoba menghilangkan kejadian yang baru saja lewat. Vano mencoba berdiri dan berlari kepojok ruangan, bersiap melempar figura yang sudah ada ditangannya entah sejak kapan.
"Nggak, Vano mau pergi dari sini."
Pranggg!
Suara benda terlempar itu membuat cowok sembilan belas tahun yang sedang mengerjakan tugas diruang tamu kaget. Ia berpikiran mungkin ada kucing yang tak sengaja menyenggol sesuatu, untung ia tak heboh menjerit. Langkah kakinya berjalan menuju kamar sang adik, memastikan suara tadi sumbernya apakah dari dalam. Cowok itu mengetuk pintu tiga kali, tapi tidak mendapat jawaban sama sekali. Mencobanya lagi, sampai ketukan itu berubah menjadi gedoran paksa.
"Vano, lo kenapa?" Kalimat tanya itu pun sama, tak mendapat jawaban dan hilang terbawa angin bergitu saja.
"Vano jangan main-main, ini Abang." Rasa khawatirnya semakin tinggi, badannya mencoba mendobrak pintu yang sepertinya terkunci. Sesekali berteriak memanggil nama sang adik, yang pasti tidak mendapat jawaban.
Di dalam, Vano hanya diam. Matanya menatap kosong pecahan kaca dari figura yang dilemparkannya tadi. Seakan ia tuli, tak menjawab teriakan sang kakak yang ia sayangi. Perlahan dirinya berjongkok mengambil satu pecahan kaca, menggenggamnya, membuat darah segar mengalir keluar dari telapak tangannya.
"Arghh!"
Sagara, cowok sembilan belas tahun itu dilanda kebingungan. Tadi suara pecahan barang dan sekarang suara adiknya yang menggeram. Ia memutuskan berlari menghampiri kamar berpintu cokelat muda, kamar orang tuanya. Menggedor-gedor paksa, berteriak meminta tolong menyebutkan nama Ayah dan Bunda. Namun sama saja, tak mendapat jawaban sepatah kata.
"Ayah, Bunda. Vano kambuh lagi, tolongin Abang."
Hening, yang menyambutnya hanya hening. Sagara dibuat kesal dan kembali lagi di depan pintu kamar sang adik. "Bego lo Gar, Ayah sama Bunda udah— nggak ada kemarin." Akhir kalimatnya memelan, menandakan kesedihan yang mendalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
You, Me ✔
Teen Fiction[S E L E S A I] [B R O T H E R S H I P] Gosipnya menyebar, secepat angin yang membawa dedaunan berguguran. Hampir satu sekolahan sudah mengetahui. Bahkan itu belum diberi keterangan dari pihak yang bersangkutan. Mereka langsung percaya begitu saja...