Kalau gayung bersambut gini, mana bisa nolak ya kan? Tapi jangan lupa hitung resiko!
—Khanza—
[•~•]
Tak ada yang tahu isi hati orang. Well, meskipun kamu orang terdekatnya pun bisa saja tebakanmu meleset kan?Khanza kira Bagus akan membiarkannya membeberkan semua. Nyatanya cowok itu justru menghampirinya dan berpura-pura seolah mereka adalah pasangan yang serasi. Bertambahlah heboh oma dan kawanannya. Dan membuat Khanza semakin sulit mengatakannya.
"Yang, minum."
"Yang, lapar."
Khanza tak menghiraukannya. Bagus sintingnya sedang kumat Kalau boleh, sebenarnya Khanza sudah gatal ingin menendang Bagus, teman baiknya itu dari rumahnya sejak tadi. Bagaimana cowok itu tetap tenang padahal tanggal pernikahan dipercepat begitu saja. Dia bisa menikmati kopi dan bermain catur dengan papa di teras rumah. Yang tak terduganya lagi, dia tiba-tiba akur dengan bang Jefri. Keduanya sedang asyik bermain ps di ruang tengah lantai dua. Sementara para tetua sedang bercengkrama di aula utama.
Tak tahan karena tak dipedulikan, akhirnya Khanza memilih masuk kamar. Menemui adiknya yang asyik bermain ponsel. Iya, sejak kepulangan Maharani, Khanza tidak mau tidur sendiri. "Dek, awas geseran dong."
"Orang mau nikah tuh senang ya, mbak. Tapi wajahmu kok malah kek orang kebelet buang air gitu, asem."
"Mulutnya isi merica ya gini, nih. Jangan ketularan mama macan lo."
"Fakta ya, mbak. Tuh, ada kaca gede. Coba ngaca dulu sana."
"Kenapa? Mbak cantik kok. Mau ngaca seribu kali pun cantik."
"Siapa bilang kamu jelek sih, mbak. Kalau otaknya digadaikan gini ya. Sana ah, sempit tahu." Maharani mendorong kakaknya dengan satu tangannya.
"Kasur gue juga. Lo geseran bisa ga?!"
"Galak banget, Nyonya Bagus."
"Dek!"
"Ya mbak? Jangan berisik ga bisa ya?"
"Gue mau serius. Curhat nih, dengerin ."
"Iya, kuping aku masih berfungsi dengan baik."
"Gue sebenarnya masih ragu."
"Ragu? Kenapa?"
Khanza menceritakannya. Semuanya, tanpa ia tutupi kenapa mamanya menyuruhnya buru-buru menikah. Awal kasus yang ia buat karena kesalahannya sendiri dan mengorbankan orang lain. Meskipun adiknya masih kecil, tapi Maharani memiliki pemikiran yang dewasa, gak seperti abangnya yang pastinya akan menertawakannya dulu sebelum memberikan solusi.
Untuk saat ini, ia tidak cerita ke bang Jefri karena dirinya tahu, abangnya itu lagi banyak masalah juga. Jadi tak ingin menambah bebannya dengan cerita masalah percintaan dirinya yang rumit.
Maharani menghentikan permainannya. "Aku emang masih kecil. Tapi mbak, aku cuma mau bilang, sebelum semuanya di mulai hentikan saja kalau memang masih nggak yakin. Gimana ya bilangnya? Dasar hubungan kan dari keyakinan."
"Mbak, jangan takut nolak."
"Gak gitu, dek. Ya tiap kali mau nolak ada aja halangannya. Masa iya itu yang dinamakan jodoh?"
"Mungkin. Ya udah ilangin aja gak yakinnya. Ganti dengan yakin."
"Ye, mana bisa gitu?!"
"Selagi gak yakin ada, bang Yakin yang jualan cilok di depan juga masih ada."
KAMU SEDANG MEMBACA
DUNIA KHANZA
ChickLitKisah rumit si pengembara! Khanza Monalise Sabara, anak seorang pengusaha terkemuka yang mendedikasikan 3 tahun pertama dari dua persepuluh abad umurnya [re: 3 dari 23th] dengan berkelana dari satu kota ke kota lainnya. Tentu saja kisah ini tentang...