06.2

34 5 0
                                    

Khanza masih menunggu. Menunggu Bagus untuk bercerita. Tapi cowok itu justru menutup mata.

"Nesa bukan siapa-siapa gue. Ngapain gue harus cerita kehidupan pribadi gue ke dia," katanya. Ada nada tak berminat untuk membicarakan hal ini.

Sebenarnya Khanza tahu, hal ini sangat sensitive untuk dibahas dengan Bagus. Karena pada dasarnya cowok itu sendiri tidak pernah mau berbagi cerita pada orang lain. Susah sekali untuk bisa membuatnya bercerita tentang masalah ini atau itu yang dialaminya. Mungkin pelariannya dengan boxing. Akan tetapi akhir-akhir ini jarang sekali Bagus melakukan olahraga itu.

Artinya dia sedang tidak ada masalah, kan? Bagus lah. Tapi kali ini rasa penasaran Khanza sedang mendominasi dirinya. Biasanya ia akan biasa-biasa aja meskipun Bagus menutup rapat dirinya terhadap Khanza. Berbanding terbalik dengan perempuan itu.

"Gue gak nyuruh lo cerita ke Nesa, Gus. Gue minta lo cerita sedikit ke gue. Jawab rasa penasaran gue. Minimal lah lo kasih lihat foto mantan lo itu dan namanya," Kata Khanza kesal. Kenapa sih susah sekali hanya berbagi nama dan foto atau mungkin soal perempuan yang menjadi bagian masa lalu cowok itu? Padahal ia tak bermaksud apapun selain tak ingin diganggu banteng cantik seperti Nesi.

"Tidur, udah malam." Tuh kan menghindar. Selalu saja.

"Kok lo menghindar?"

"Gue capek, Za. Mau istirahat. Kalau lo masih mau ngoceh, sana keluar." Bagus meninggikan suaranya. Setara dengan bentakan.

Khanza tersentak ketika Bagus membentaknya. Untuk pertama kalinya. Sebelumnya cowok itu tidak pernah membentaknya seperti ini. Bahkan jika ada kesalahan besar yang dilakukan Khanza pun cowok itu selalu mengatakan dengan baik. Gak pernah marah-marah. Ya meskipun mereka sering kali debat.

"Kok lo jadi bentak gue sih? Kan gue nanya baik-baik. Ya udah sih kalau gak mau cerita. Bye!" Khanza berbaring memunggungi Bagus. Lalu menarik selimut menutup semua tubuhnya. Tak lupa ia menyumpal telinga. Takut-takut nanti cowok itu membentaknya lagi.

Hening beberapa menit. Bagus tak bisa memejamkan mata dengan tenang.

"Maafin gue, bukan saatnya gue cerita ke lo. Jujur, mengungkit hal yang sudah berlalu bikin hati gue sakit lagi," katanya lirih dengan mata tak lepas dari Khanza.

Bukan saatnya? Terus kapan? Gila sih! Dia anggap gue apa selama ini? Oh iya, gue bukan siapa-siapanya kan? Wajar lah gak harus tau masalah dia. Tapi rasanya nyeri banget nih hati dia gak mau terbuka padahal gue sangat terbuka kalau sama dia. Khanza bersuara. Tentunya dalam hati tanpa merubah posisinya. Biarlah bahunya sakit sebelah besok. Ia terlalu malas memandang wajah Bagus.

__________

Khanza sedang membuat sarapan di dapur. Ia membuat nasi goreng dengan telur mata sapi. Menu paling mudah dan simpel dimasak untuk sarapan pagi. Ia lalu membawa dua piring nasinya ke ruang keluarga.

Heran juga rumah yang lama tak ditempati tapi ada bahan makanan di kulkas. Mungkin, Bagus habis belanja semalam.

Bagus sudah tidak berada di rumah sejak ia bangun. Mungkin cowok itu sedang jogging di sekitar sini. Bodo amat lah. Dia sudah terlanjur buruk mood-nya karena Bagus semalam.

Bunyi notifikasi pesan. Tapi Khanza yakin itu bukan bunyi ponselnya. Pasalnya ponselnya sedang ia isi baterai di kamar. Matanya melirik sekitar. Ponsel Bagus tergeletak di sofa ruang keluarga. Kebiasaan selalu meninggalkan hp sembarangan. Ini yang menyebabkan cowok itu kadang susah dihubungi.

Khanza mengambilnya dan menyalakan ponsel itu. Ada satu pesan masuk yang menurutnya sedikit aneh.

Black
Mau sampai kapan lo ulur2 waktu? Percuma tau ga?!

"Maksudnya apa?" Gumamnya tak mengerti.

"Siapa Black?" Namanya aneh juga.

"Perasaan dalam lingkup pertemanan gue dan Bagus gak ada yang namanya Black. Jelek amat nih nama." Khanza meletakkan ponsel itu di atas meja lalu menyantap kembali sarapannya. Sambil berpikir siapa nama pemilik nama Black itu.

Kak Nana? Mas Andra? Temannya yang punya studio? Ya sudah lah toh bukan urusannya juga.

"Kenapa si lo?" Tanya Bagus yang barusan datang dengan dua kantung makanan. Bubur serta minuman yang Khanza tak mengerti itu apa.

"..."

"Masih marah sama gue?"

Dasar cowok gak peka. Gimana dia tak marah, hanya karena cewek ganjen bin sialan, Nesa, ia harus dibayar dengan bentakan tanpa hasil apapun. "Jangan ditanya. Sangat. Hanya karena Nesa sialan lo bentak gue."

"Gitu aja ngambek."

"Gue gak suka dibentak sama orang lain selain orangtua gue. Apapun alasannya."

"Lo suka nyolot sih."

"Malas ah, debat sama lo pagi-pagi. Nih ponsel lo. Bunyi tadi."

"Taruh aja, gue mau mandi siap-siap dulu."

Khanza mengangkat sendoknya. Mengacungkannya pada Bagus. "Awas aja ada yang penting bilangnya gak gue kasih tahu. Gue sunat lo."

"Habis dong. Gak bisa re-"

"Sana ah. Lo jangan ngajak ribut doang."

Bagus yang melihat perempuan itu makan nasi goreng, heran. Bi Sina kan tidak kemari.

"Lo buat sarapan? Dapat bahan dari mana?" Tanya Bagus membuat Khanza jadi merinding. Ia pikir Bagus yang beli bahan itu. Mungkin pembantu yang jaga rumah ini kali ya?

"Dari tetangga. Puas lo!"

"Jutek banget sih neng."

"Jangan ganggu bisa gak sih?"

"Tambah jelek lo cemberut gitu."

"Biarin. Itu bahan di kulkas siapa yang pakai kalau rumah ini kosong? Kan mbak Nana gak tinggal di sini? Mubazir banget kalau tidak dimanfaatkan tau!"

"Ada Pak maman sama Bi Sina. Beliau berdua yang kerja di sini."

Tuh kan, pasti Bi Sina itu yang belanja bahan. Tapi sedari semalam ia tak pernah melihat beliau berdua.

"Mana? Gak pernah lihat!"

"Kesini kalau waktu beres-beres aja. Udah gue kasih tahu kalau hari ini ga perlu ke sini. Karena lo yang bakal beres-beres. Bye! Gue mandi dulu."

"Cerewet! Mati aja sana lo, Gus!" Bagus tertawa lali berlalu menuju kamar mandi.

Lv. Aw

DUNIA KHANZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang