07.0

31 4 0
                                    


Tiga tahun yang lalu

Di depan pagar rumah berwarna hitam itu Jefri tak tahu harus berbuat apa? Rasanya campur aduk. Sementara Khanza yang diajak abangnya bingung tak mengerti. "Lo ngajakin gue kesini ngapain bang? Ini kan kompleks perumahannya Bima. Terus itu rumah siapa?"

"Meisya," jawab Jefri pelan.

Khanza terbelalak. Bukannya nama itu yang abangnya panggil semalam? Mei?

"Pacar lo? Yang lo sebut semalam waktu lo mabuk?"

"Bukan pacar gue."

Khanza mengernyit bingung. Terus kalau bukan pacar, pengaruhnya kok sampai sebesar itu sampai buat kakak laki-lakinya mabuk berat

"Siapa lo dong?" Tanyanya penasaran.

"Banyak nanya kamu!"

"Muka lo kusut banget sih bang?" Memang dua hari ini sejak ia mabuk, abangnya terlihat murung. Tak seceria biasanya. Biasanya ia suka cari masalah dengannya tapi dua hari ini wajah tengilnya tak tampak justru terlihat seperti mayat hidup.

"Gue baik."

"Bohong banget. Lo ada masalah cerita dong. Kasihan tuh hati kalau lo pendam sendiri. Entar mirip bisul, meletus kalau udah numpuk."

"Ga jelas tahu gak?!"

"Terus maksud lo ajak gue kesini ngapain abang sayang?" Tanya Khanza geregetan. Ya wajar saja, tiba-tiba abangnya menculiknya dari kampus dan membawanya kemari. Padahal masih ada satu mata kuliah lagi. Terpaksa ia bolos dan meminta Bima untuk mengisi absennya.

"Bantuin gue ya, Za. Kasih ini ke Meisya. Bantuin gue minta maaf sama Meisya."

"Kenapa gak lo sendiri?"

"Mesya takut gue."

"Wah gue punya sekutu dong, oke kenalin gue sama Meisya. Biar bisa susun rencana buat jahilin lo."

"Jokes lo gak lucu! Bantuin gue ya dek ya?" Pintanya memelas.

Sungguh, di sini ia tak tahu apa-apa. Sebenarnya kenapa perempuan itu bisa takut dengan tampang abangnya yang bisa dibilang lumayan. "Jelasin ke gue, kenapa Meisya takut lo?"

"Gu-gue, gue gak bisa cerita sekarang."

Ia bisa apa kalau abangnya tak ingin terbuka. Akan lebih baik ia mengalah sekarang, menuruti kemauan cowok itu. Tentunya agar ia cepat pulang. "Ok, nanti aja ceritanya bang. Mana? Biar gue kasihkan."

"Ini."

"Tapi gue ingatkan satu hal buat lo bang, jadi cowok harus berani ambil resiko. Salah ya minta maaf langsung, bukan lewat perantara. Tungguin gue, awas lo kalau gue ditinggal."

"Iya, buruan."

Khanza turun dari mobil. Menatap abangnya nyalang lalu berjalan mendekati gerbang rumah besar itu. Semoga saja di dalam sana tak ada anjing galaknya.

"Permisi."

Tak ada jawaban. Pos satpam juga sepi. Khanza mengawasi area sekitar. Berjaga-jaga jikalau ada anjing menggonggong. Namun netranya tak menemukan binatang yang kata orang lucu itu.

DUNIA KHANZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang