Menemui Casandra

4 1 0
                                    

Mario sedang di tepi jalan flyover, duduk di atas motornya sambil merokok. Kota Bandung di malam hari sangat indah dengan lampu-lampu dan gedung-gedungnya, di depan Mario kendaraan silih berganti melewatinya. Ramai, tapi entah kenapa baginya terasa sunyi. Ia melihat jam di tangannya, sudah pukul 8 malam. Kemudian menyentil puntung rokok sebelum menyalakan motornya, ia kembali ke rumah.

Niko berusaha menghubungi kawannya tapi panggilannya selalu tidak dijawab sampai akhirnya pembantu rumah Mario turun ke bawah dan menunjukan ponsel yang masih bergetar.

"Hp-nya gak dibawa, Den."

Niko mendengus kesal. Ia melirik jam di ponselnya, baru pukul delapan lebih, tapi entah kenapa matanya berat. Mungkin aktivitas hari ini yang telah membuatnya.

"Bi, Tante Maria belum pulang?" tanya Niko pelan dan hati-hati.

Pembantunya duduk di sofa ruang tamu, di depan Niko. Ia menjawab, "Biasanya malam."

Niko menguap.

"Ngantuk, Den?" tambah pembantunya bertanya.

Niko mangguk. "Lumayan. Hari ini capek, Bi."

"Kalau mau istirahat di atas aja. Den Niko nginep, kan?"

"Gak tau." Niko masih bingung, tujuannya ke rumah Mario hanya untuk bercerita tentang hari ini, tentang dirinya dan Adella.

"Nginep aja!" sarannya, "bawa mobil gak boleh ngantuk, Den."

Karena matanya sudah berat, tawaran pembantu kawannya itu seperti sebuah tiket gratis yang siap digunakan kapan saja. Niko mengangguk, ia berjalan ke atas, ke kamar Mario yang sudah tidak asing baginya.

Ia menoleh pada salah satu dari dua foto yang ada di kamar itu, yang tersimpan di atas meja belajar. Niko berjalan lalu duduk di kursinya. Ia mengambil foto itu, tersenyum, kemudian pikirannya melayang pada kejadian itu. Di mana saat mereka dinyatakan lulus, telah selesai menempuh pendidikan sekolah menengah pertama. Niko senang mengingatnya. Kemudian bola matanya berpindah pada foto satunya lagi, foto Luna dan Mario. Sangat terlihat bahwa Mario menyayangi adiknya itu.

Sekarang matanya menyapu sudut-sudut kamar itu. Hanya sewarna, hitam. Tanpa lukisan dinding, foto-foto, poster. Entah kenapa tiba-tiba Niko menunduk, seakan-akan bisa merasakan isi hati Mario lewat kamarnya. Sepi. Tidak berwarna.

Niko merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Matanya tertutup tapi pikirannya melayang pada kejadian masa lalu. Pada kisah dirinya dan Mario. Mario tidak terlihat seperti orang yang kesepian, tapi jika mengenal dan dekat dengannya akan tahu bahwa itu salah. Mario tidak banyak bicara, juga tidak suka nongkrong dengan anak-anak lain. Setahu Niko temannya hanya dirinya dan Panji, Niko juga merasa sama, temannya hanya Mario dan Panji. Sedikit, bahkan bisa dihitung. Tapi itu tidak penting, karena bagi dia berteman dengan Mario lebih dari cukup. Sedikit teman yang peduli lebih baik dari pada sejuta teman yang memikirkan dirinya masing-masing, pikirnya.

Mario sampai rumah, ia mendapati mobilnya Niko terparkir di garasi. Ia segera masuk dan tidak menemukan orang itu. Hanya ada pembantunya yang baru keluar kamar dan menawarkan untuk menyiapkan makan malam. Mario menolaknya dengan halus, kemudian ia bertanya tentang Niko.

"Ke kamar. Kecapean sigana mah."

"Luna?"

"Sudah tidur."

Mario tidak perlu menanyakan apakah adiknya sudah makan atau belum, karena ia percaya pada Niko, tidak mungkin membuat Luna kelaparan atau tidak senang.

Mario naik ke atas dan mendapati kawannya sudah terlelap. Ia biasa tertidur dengan jendela terbuka tapi ketika dengan Niko, ia memilih menutupnya. Seperti sekarang, ia berjalan ke arah jendela dan melakukannya. Kemudian mengambil selimut dan menyelimutinya pada tubuh Niko yang tidak bergerak.

Mario dan Niko (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang