Membeli Motor Sejarah

6 2 0
                                    

Mario ke rumah Niko sebelum ke sekolah. Ia masuk, bergabung dengan keluarg Niko yang sedang sarapan. Seperti biasa, Intan membuatkan roti berselai coklat untuk kawan adiknya itu. Aktivitas itu sering Intan lakukan sejak dulu meskipun terkadang kedua cowok itu membuatnya kesal.

"Yo, benar kawanmu itu lagi deketin perempuan?" tanya Ibu Niko. "Kasih tahu dia, jangan mempermainkan perasaan perempuan. Sama kamu mah, kan, nurut dia."

"Apaan, sih, Ma? Niko gak pernah mainin perempuan."

"Bohong banget. Mening tobat lu dari pada kena karmanya," timpal Intan.

Niko mengajak Mario pergi, tampaknya ia tidak mau dipojokan lagi.

"Woy nebeng, dong," kata Intan sambil mengikuti kedua cowok itu setelah pamitan pada kedua orang tuanya. Mobil Intan sedang ada di bengkel.

Mario dan Niko duduk di depan sementara Intan di belakang. Mobil yang mereka tumpangi berjalan mulus sampai akhirnya terjebak macet juga di jalan Soekarno Hatta.

"Mario?" panggil Intan, "lu makin terkenal aja. Hampir semua temen gue ngomongin lu."

Mario hanya nyengir, dia kurang tertarik dengan topik seperti itu. Tapi tidak bagi Niko.

"Ngomongin apaan?" tanyanya sambil menoleh ke belakang.

"Pokoknya banyak yang ingin tahu tentang temen lu tuh. Mereka udah usaha nyari sosmed-nya tapi hasilnya nihil. Udah gue bilangan gak main sosmed malah gak percaya."

"Kasih aja nomornya. Gampang, kan?" saran Niko sambil mengedipkan matanya pada Mario.

Tiba-tiba sebuah tangan menoyor punggungnya. "Eh, gue bukan orang yang seperti itu. Kalo gak ada ijin mana berani gue ngasih nomor Mario ke orang lain. Benar gak, Yo?"

Mario mengangkat jempol tangan kirinya.

***

Gara-gara berantem dengan Arjuna waktu itu, membuat orang-orang semakin mengenal Mario dan dampaknya tak sedikit yang menolehnya ingin tahu. Mario yang sedikit risih ditambah kurang suka keramaian memilih menghabiskan waktu istirahatnya di rooftop dengan earphone menyumpal telinganya.

Niko datang dan geleng-geleng kepala melihat Mario sedang rebahan di atas sofa butut. Niko melepaskan earphone-nya tapi tidak membuat Mario bergerak. Tampaknya Mario tahu siapa yang datang.

"Lu gak laper apa?" tanya Niko, ia duduk di sebelahnya setelah menggeserkan kaki kawannya itu secara paksa.

Mario bangkit, membuat duduknya senyaman mungkin. Tiba-tiba teleponnya bergetar. Setelah membaca pesan yang diterimanya ia memberitahu Niko bahwa seorang penjual motor yang berada di Kabupaten Sumedang memilih dirinya sebagai pemilik barunya.

"Gue harus ke sana sekarang."

"Bego. Lu mau bolos lagi. Pulang sekolah, bareng gue juga."

Mario malah menawarinya. "Ikut?"

"Lu lupa kalo kita sekarang satu sekolahan dengan Intan. Kaya yang gak tau dia aja."

Mario paham maksud Niko. Sekarang mereka bukan anak SMP lagi yang selalu beralasan jika berbuat salah, kita, kan, masih SMP, masih belajar dan ia tahu betul bagaimana kakaknya, Intan.

"Lu udah bisa nyetir, kan?"

Niko mangguk.

"Bagus. Gue sendiri yang ke sana."

"Sama aja. Lu akan diceramahi juga sama dia."

Mario tersenyum bego. "Gak bakal kalo gak ketahuan dan kalo lu gak ngomong."

Mario paling malas jika sudah diceramahi tetapi tidak jika oleh keluarga Niko, ada sedikit rasa senang. Seenggaknya ada orang yang masih memedulikannya, bukan so so peduli dan so tahu.

***

Mario memeriksa motornya sementara penjualnya, seorang bapak tua, memperhatikan gerak-gerik cowok itu. Mario bingung, kenapa motor tua, antik, dan masih terawat dengan baik mau dijual dengan harga yang terbilang murah kepadanya.

"Saya coba ya Kek- Pak... ," Mario meralat ucapannya sendiri, tampaknya ia bingung harus memanggil orang tua itu dengan sebutan apa.

Setelah diijinkan ia mulai mengendarainya memutari halaman yang lumayan luas. Setelah tiga putaran Mario berhenti di tempat motor semula berdiri.

"Masih enak. Tapi kenapa bisa dijual, Pak?" 'Pak' pikir Mario panggilan itu yang cocok kalau melihat dari fisiknya yang masih segar meskipun ia tahu dari rambut yang dipenuhi uban usia bapak ini tidak muda lagi.

"Duduk!" tunjuk si bapak tua pada kursi kosong di sebelahnya. Mario menuruti.

"Waktu gak bisa dimanipulasi, Jang."

"Maksudnya, Pak?"

"Bapak sudah kolot, tua," akunya dan Mario tahu tanpa diberitahu. "Sebuah barang kalau tidak dipakai bisa rusak dengan sendirinya. Anak-anak Bapak semuanya perempuan jadi tidak ada yang nerusin petualangannya." Mario mangguk-mangguk so paham. "Bapak bisa saja jual pada orang lain dengan harga yang lebih mahal kalau Bapak mau mah, tapi bukan itu, bukan tentang uang. Ini tentang feeling. Bapak cocoknya dengan kamu."

Mario mangguk-mangguk lagi.

"Bapak hanya berpesan rawat yang benar. Motor ini bersejarah."

"Saya merasa terhormat bisa memilikinya," jawab Mario bangga.

"Itu harus. Kamu bodoh jika  tidak. Yang ingin motor ini teh banyak, terutama kolektor barang antik. Mereka bakal mau kalo Bapak jual 10 kali lipat dari pada yang dijual ka si ujang."


Mario dan Niko (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang