VII

41 4 0
                                    

"Kau melamun lagi ?" Aku tersentak saat kurasakan tangan seseorang mengelus pipi kanan ku. Lantas aku menoleh pada asal suara.

"Ahh..iya maafkan aku. Tadi kau bicara apa ?" Kulihat Gavin menurunkan tangannya dari sisi wajahku dan menunduk. ia menghela nafasnya kemudian mengangkat kepalanya. Ia tersenyum manis padaku.ahhh...senyuman itu. Sekarang senyuman itu sudah menjadi senyuman favoritku.

"Kau pasti mengingat kejadian itu lagi. Tidak apa. Kemari. Akan aku pinjamkan bahuku padamu dan membiarkan baju mahalku ini dibasahi oleh air matamu." Dia menepuk sebelah bahunya dan mengisyaratkan agar aku beralih ke pelukannya. Tapi. Bukannya segera mendekat. Aku hanya tersenyum kemudian tertawa. Astaga. Dia ini imut sekali.

"Kenapa tertawa ? Kemari. aku akan memelukmu. semalam jika kau perlu Dan menggantikan peran gulingmu yang sudah banyak sekali 'pulau-pulaunya' itu." Tawaku kembali pecah sesaat tadi sudah mereda.

"Enak saja aku tidak membuat pulau disana." dan tak lama aku menerima tawarannya. Aku memeluknya.

Aku suka pelukan ini. Begitu hangat. Sangat menenangkan. membuat pikiranku rileks. Tidak lagi membayangkan kembali kejadian beberapa Minggu yang lalu. Aku senang jika Gavin sudah berada disisiku dan menenangkanku seperti ini.

Aku tersenyum di balik dadanya yang bidang setelah Kurasakan ketenangan menjalar di seluruh tubuhku saat Gavin dengan perlahan mengelus rambutku yang kini hanya sebatas bahu. Ya...ku pikir tidak ada salahnya kan mengubah penampilanku.

Jujur saja saat kejadian acara pertunangan Bian aku kacau sekali. Seperti orang yang sudah kehilangan akal. Aku setiap waktu menangis. Meraung. Dan mengurung diri. Tidak ingin makan. Tidak ingin pergi kemanapun juga tidak mengatakan sepatah kata pun. Kupikir saat itu aku sudah akan kehilangan akalku.

Tapi. bersyukur Gavin selalu sabar menghadapiku. Bagai pengganti mamah —yang masih di luar kota untuk memenuhi kebutuhan hidupku juga hidupnya—Gavin dengan perlahan ia membuatku sadar dan berkata jika aku tidak boleh terus seperti ini. Aku tidak boleh kehilangan akalku hanya karena seorang pria. Ia Juga berkata jika aku sayang kepada mamah juga kepadanya aku harus bangkit. Jangan membuat diriku terjebak dalam emosiku dan menjadi gila.

Dia mengerti jika aku tidak mau kehilangan Bian setelah aku kehilangan papah juga ian. Tapi Gavin mengatakan aku tetap tidak boleh seperti ini. Mereka hanya sudah tidak berada disisiku lagi bukan berarti mereka sudah tiada itu yang di katakannya. Bahkan saat sebelum Gavin memberikan pengertian padaku kami sempat bertengkar hebat.

setelah aku menyadarinya dan merutuki kebodohanku juga karena aku sayang mamah juga Gavin. aku bangkit dengan dukungan Gavin juga mamah yang saat itu dengan tiba-tiba di hubungi oleh Gavin karena aku hampir melukai diriku sendiri dan masuk kerumah sakit. dengan perasaan khawatir mamah terbang dari Bali ke Bandung. hingga mamah menerima pemotongan gaji demi aku yang sudah hampir gila.

Astaga. Itu buruk sekali.

Maafkan aku mah aku telah egois selama ini.

"Mau pergi jalan-jalan ?" Mendengar itu perlahan aku mendongakkan kepala ku dan mengurai sedikit pelukan kami.

"Boleh." Aku tersenyum kearahnya kemudian ia bangkit dan melepaskan pelukan kami.

"Baiklah. Kau tunggu disini" aku mengangguk kemudian Gavin berlalu.

Tapi dia kembali lagi."ambil jaket mu dan ah! aku juga akan memberi laporan kepada mamah jika aku akan menculik anak perempuan kesayangannya pergi keluar." Mendengar itu lantas aku tertawa seraya mengangguk.

||

"Sudah siap ?"

"Tunggu. kenapa kita harus memakai sepatu olahraga ? Dan kenapa kau meminta pa yadi untuk mengambil barang dibelakang ? Memangnya barang apa sih ? Juga kau tumben sekali tidak memakai topimu ?" Aku heran pada Gavin hingga aku menelitinya dari atas hingga bawah.

T R I S T I S   || DALAM TAHAP REVISI ||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang