42

234 24 14
                                    

Setelah selesai dengan urusan di kantor, Kin mengantar Zoya pulang. Jika sebelumnya ia mengantar Zoya sampai ke depan gerbang kediaman Airlangga, namun kali ini berbeda. Ia lebih memilih mengantar Zoya di persimpangan komplek yang berjarak sekitar seratus meter dari kediaman Airlangga. Dia melakukan itu semua bukan tanpa alasan, ia hanya khawatir jika nantinya Dirga memergoki mereka berdua pulang bersama. Jika itu terjadi, bukankah yang akan terkena imbasnya nanti adalah Zoya?

"Sudah sampai."

"Ini lebih dari cukup."

Zoya menghela nafasnya dengan putus asa. Rasanya berat untuk pulang ke rumah petang ini. Dia seolah bisa menebak apa yang akan terjadi ketika ia tiba di rumah. Dirga dan Laren pasti sudah menunggunya. Bukan hanya menunggu, ia juga pasti akan di sidang habis-habisan oleh Papa dan Mamanya itu.

Kin menatap pergelangan tangan Zoya yang memar akibat ulah Satria tadi siang. Dia sangat menyayangkan sikap Satria yang sangat keterlaluan terhadap perempuan. Bukankah yang ia sakiti itu calon istrinya sendiri? Seharusnya ia bisa bersikap tenang, alih-alih bersikap kasar.

Kin beralih menyentuh bibirnya. Rasanya masih nyeri. Pukulan Satria bukan main-main. Tangan kotornya itu berhasil membuat bibirnya terkelupas. Sial! Jika bukan di tempat umum, ia pasti sudah memukul balik serangan Satria.

"Kejadian tadi siang, aku benar-benar minta maaf."

Zoya menatap bibir Kin yang terkelupas. Tidak ada lagi berkas darah disana. Dia yakin bahwa Kin telah membersihkannya saat mereka kembali ke kantor tadi siang. Pertengkaran antara pria sungguh mengerikan pikirnya, terlebih pertengkaran itu terjadi karena dirinya. Ya, jika bukan dirinya, siapa lagi?

Sebenarnya Zoya bisa saja menolak untuk tidak pergi menemani Kin, tetapi semuanya terjadi begitu saja. Rasanya sulit menolak keinginan bosnya itu. Namun, siapa yang membayangkan jika keputusan yang ia ambil ternyata membawa bencana untuk Kin. Dia tidak menyangka Satria berani memukul Kin di tengah orang banyak. Benar-benar memalukan pikirnya.

"Apa itu masih sakit?" Zoya tak sekali pun mengalihkan pandangannya dari bibir Kin.

Kin tidak habis pikir, Zoya masih saja mengkhawatirkan luka di bibirnya. Apa ia terlihat seperti orang lemah di mata perempuan ini?

"Tidak perlu khawatir. Sebaiknya kamu urus saja pergelangan tangan kamu yang memar itu."

Zoya menatap pergelangan tangannya lalu tersenyum dengan getir. Luka ini tidak sebanding dengan luka yang ia terima dari kedua orang tuanya selama ini pikirnya. Luka fisik dapat sembuh seiring berjalannya waktu, namun luka dihati akan selamanya tertanam dan membekas sampai ia mati.

"Ini tidak apa-apa. Tidak perlu khawatir."

Kin memijat kepalanya pusing. Dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk tidak khawatir, namun tetap saja ia kalah. Dia dikalahkan oleh perasaannya sendiri. Tidak bisakah ia menutup mata dan berusaha tidak peduli? Bukankah perempuan yang duduk disebelahnya ini ingin bertunangan dengan Satria? Ini benar-benar membingungkan pikirnya.

Zoya kembali menatap bibir Kin. Ia ingin sekali menyentuh luka itu. Apa ia diizinkan untuk melakukannya? Apa boleh? Dengan keberanian yang ia miliki, Zoya mengayunkan tangannya ingin menyentuh bibir Kin, namun sedetik kemudian tangannya ditahan oleh Kin.

"Tidak perlu khawatir."

"Aku cum.."

"Kalau kamu ingin menyentuhnya, aku beri kamu  waktu dua detik."

Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Zoya. Ia menyentuh bibir Kin yang terluka dan mengusapnya lembut. Ini adalah luka pertama yang ia berikan kepada Kin. Selanjutnya, apa mungin ia akan memberi luka yang lebih parah dari ini pikirnya. Sementara itu, Kin memejamkan matanya merasakan sentuhan Zoya di bibirnya. Munafik jika ia tidak menyukai sentuhan ini, karena ia pria normal.

Kin & Zoya [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang