"Cristal nggak mau!" Sekali lagi gue menolak dengan tegas. Buat apa buang-buang uang, waktu, tenaga, dan pikiran untuk melakukan operasi plastik? Apa gunanya? Apa dengan operasi plastik, kaki gue bisa kembali seperti semula?
Papi Mami yang duduk di samping kanan brankar, saling berpandangan. Gue sempat melihat Papi mengembuskan napas panjang. Sedangkan Mami kebalikannya. Beliau menarik napas panjang. Kenapa? Sudah capek mengurusi anak cacat seperti gue? Yang bahkan untuk duduk saja butuh bantuan. Yang nantinya nggak bakal bisa melakukan apa pun seorang diri. Anak cacat yang nggak berguna. Anak yang nggak bisa membuat mereka bangga.
"Bisa nggak kalau kita pulang saja? Sudah hampir dua minggu di sini, sebenarnya kita mau nunggu apa lagi? Mau sebulan dua bulan bahkan setahun tinggal di rumah sakit, kaki kiri Cristal juga nggak bakal balik seperti semula."
Gue benci dengan tatapan mereka. Seolah-olah gue ini makhluk aneh yang terbuat dari kaca, sehingga perlu dijaga ketat biar nggak pecah. Sekasar apa pun sikap dan perkataan gue, mereka selalu menerimanya dalam diam. Nggak pernah sekali pun menegur atau menasehati gue seperti dulu. Apa pun yang terucap dari bibir gue, selalu mereka iyakan. Segala keegoisan gue yang terkadang membuat gue sendiri malu, mereka terima begitu saja. Bahkan segala sikap kasar gue, nggak pernah mereka tegur.
Apa sebegitu mengenaskannya keadaan gue sampai-sampai butuh penjagaan ketat? Bahkan gue yakin, Mami selalu berpikir ribuan kali saat mau bicara sama gue. Mereka sangat menjaga struktur kalimat yang mereka ucapkan. Gue sempat berpikir jangan-jangan mereka sudah menyiapkan buku catatan khusus tentang apa yang boleh dan nggak boleh dikatakan ke gue. Dan gue benci itu!
"Cristal mau pulang!"
Lagi-lagi Mami menarik napas panjang. "Sayang, kata Dokter Yusril---"
"Ngapain nurut sama Dokter Yusril? Apa-apa kata Dokter Yusril. Sebentar-sebentar nunggu persetujuan Dokter Yusril. Semua harus sesuai perkataan Dokter Yusril." Gue menarik napas sejenak. "Kaki Cristal diamputasi juga gara-gara disuruh Dokter Yusril 'kan!" bentak gue.
Tarikan napas panjang ke tiga. "Cristal, Mami tahu kalau kamu sedih. Mami juga sedih melihat kamu seperti ini. Papi Mami tidak pernah berniat untuk membuat kamu kehilangan kaki, tapi---"
"Sedih," gumam gue sambil mendengkus kasar, "Cristal memang semenyedihkan itu."
"Sayang, maksud Mami bukan begitu. Kami tidak ada pilihan selain merelakan Dokter Yusril mengamputasi kaki kirimu, Nak. Kalau kami tidak segera mengambil keputusan, nyawamu yang jadi taruhannya."
"Apa bedanya sama sekarang? Apa gunanya Cristal hidup kalau nggak punya kaki?" Emosi gue sudah mulai naik.
"Maafkan Mami, Sayang," lirih Mami sambil mengusap air mata yang mulai jatuh. Sedangkan Papi sibuk menepuk-nepuk punggung Mami.
Seumur hidup, gue nggak pernah suka melihat Mami menangis. Namun, dalam waktu dua minggu, entah berapa liter air mata yang Mami buang gara-gara gue. Gara-gara anak nggak berguna macam gue, yang bisanya cuma bikin repot.
KAMU SEDANG MEMBACA
KATASTROFE (TAMAT)
General FictionBagaimana jika Queen of Socialita, mendadak hancur? Segala yang ia punya; kepercayaan diri, keceriaan, dan kemandirian serta limpahan cinta yang menjadikan dirinya nyaris berada di titik sempurna, harus lenyap karena satu bencana. Bisakah Cristal ba...