Emak ingetin sekali lagi, jangan lupa pencet bintang dulu sebelum baca.
Ngasih vote nggak bikin pulsa berkurang kok, Gaes.
Komentar yang banyak juga boleh.Sejak sesi kontrol dengan Dokter Yusril minggu lalu, jadwal pengobatan gue seolah nggak ada habisnya. Setiap Senin gue harus menjalani fisioterapi elektromagnetik yang nggak gue ketahui namanya. Selasa jadwalnya stimulasi otak. Rabu harus ketemu Dokter Faiz—dokter syaraf. Kamis balik lagi ke Dokter Yusril. Hari ini gue mesti menjalani gymnasium dan besok jadwalnya psikoterapi.
Jujur, gue nggak siap menjalani gym kali ini. Kata Dokter Yusril, gue harus mulai latihan fisik karena Mami pengin gue mulai pakai kruk. Sedangkan gue sampai detik ini belum mau mengumbar kecacatan ini ke mana-mana. Gue belum siap.
"Mbak Cristal, kita masuk sekarang, ya." Juwita mendorong kursi roda memasuki ruangan.
Dinginnya ruang semakin membuat kedua telapak tangan gue membeku. Walau gue nggak asing dengan berbagai alat gym yang ada di ruangan, tapi tetap saja membuat bulu kuduk meremang. Gue sering nge-gym. Dulu, saat tubuh gue masih lengkap.
Kalau hanya treadmill, static bicycle, ball therapy, dan barbel, bukan hal baru buat gue. Namun, memakai semua alat itu setelah kaki gue diamputasi, membutuhkan nyali ekstra. Terlebih ditonton orang-orang di ruangan ini.
"Tenang saja, kita mulai perlahan dari yang itu." Seorang laki-laki menunjuk lintasan jalan dengan palang besi di kedua sisinya. "Kamu Cristal 'kan? Kenalkan ... saya Leonidas, penanggung jawab terapimu. Panggil saja Leon."
Pria setinggi kurang lebih 180 senti, dengan kulit coklat dan tubuh atletis, mengulurkan tangan kanannya. "Cristal," balas gue singkat.
"Tadi pagi sudah sarapan 'kan?" Leon mendorong gue mendekati lintasan jalan.
Gue mengerutkan kening, memandangnya bingung. Memangnya kenapa kalau belum?
"Biar kuat." Pria yang gue taksir berumur sekitar akhir dua puluhan ini sedang mengunci roda di kursi gue sambil memamerkan deretan gigi putihnya.
Gue mengepalkan kedua tangan erat, saat Juwita mengambil selimut yang menutupi kaki. Tadi gue bersikeras memakai bawahan rok rumbai semata kaki, tapi Juwita mati-matian menolak. Dia menggantinya dengan celana leging sepaha. Katanya supaya lebih leluasa untuk latihan fisik. Namun, bagi gue ini sama artinya mengekspos kaki buntung yang masih tertutup perban.
Gue menundukkan muka, nggak sanggup melihat tanggapan Leon dan beberapa orang di dalam ruangan. Kalau bukan demi Mami yang memohon supaya gue mematuhi perintah Dokter Yusril dan Dokter Faiz, gue lebih memilih segera cabut dari sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
KATASTROFE (TAMAT)
Ficção GeralBagaimana jika Queen of Socialita, mendadak hancur? Segala yang ia punya; kepercayaan diri, keceriaan, dan kemandirian serta limpahan cinta yang menjadikan dirinya nyaris berada di titik sempurna, harus lenyap karena satu bencana. Bisakah Cristal ba...