"Jadi bener 'kan kalau selama lo di rumah sakit, cowok satu itu belum pernah ke sini?" Bella memandang gue dengan tatapan nggak percaya.
Tadi pagi-pagi sekali Bella dan Belva sudah sampai di sini. Kata Bella biar Mami bisa istirahat di rumah. Padahal sedari tadi kerjaannya cuma mengganggu gue dengan pertanyaan tentang Gyan.
Gue nggak pernah berniat cerita tentang Gyan kepada Bella atau Belva. Karena gue nggak mau mereka semakin membenci Gyan. Mereka memang nggak pernah menyetujui hubungan gue. Bahkan saat Gyan mulai melancarkan aksi pendekatan pun, Bella dan Belva sudah menampakkan ketidakcocokkannya.
Kata Belva, Gyan terlalu egois. Menganggap dunia berpusat padanya, sedangkan orang lain hanya pelengkap. Orang macam Gysn akan susah untuk mengaku salah, menghargai orang lain, bahkan mengapresiasi prestasi orang. Pokoknya cuma dia yang paling hebat.
Sedangkan kata Bella, Gyan terlalu pelit. Sedikit-sedikit ngitung untung rugi. Beli ini dilarang, beli itu dilarang. Mau nongkrong juga pilih-pilih tempat. Yang bikin Bella tambah nggak suka sama Gyan, karena hampir tiap kami jalan bareng, dia jarang ngeluarin dompet. Alias selalu gue yang keluarin modal.
Namun, kata gue, dia cuma berhemat dan nggak suka buang-buang uang. Lagian wajar kalau Gyan perhitungan soal duit. Kerjanya kan di Bank, tentu Gyan terbiasa mengelola keuangan secara teratur. Nggak kayak gue atau Bella yang terlalu boros.
Gue kenal sama Gyan dua tahun lalu, waktu mengantar Bi Minah mengurus ATM-nya yang terblokir. Sebenarnya bukan job desc Gyan. Karena sebagai account officer, tugas dia mencari nasabah yang butuh dana untuk modal usaha. Kebetulan saat kami ke sana, petugas customer service sedang istirahat padahal antrian sudah panjang. Jadi dia sekadar memfotokopikan berkas Bi Minah.
Seperti kelakuan laki-laki pada umumnya yang merasa tertarik pada seorang gadis. Begitu pun Gyan. Dia berusaha meminta nomor telepon gue. Menghubungi gue secara intens. Terkadang dia mengajak gue jalan, sekadar untuk makan atau menghabiskan malam minggu di rumah. Namun, gue jarang nonton sama Gyan. Karena dia nggak begitu suka ke bioskop. Katanya lebih enak nonton video di rumah. Ya, nggak masalah. Toh hobi gue satu itu masih tetap berjalan, walau bukan dengan Gyan. Kedua sahabat gue, Bella dan Belva, dengan senang hati menemani gue.
Setelah masa pendekatan selama dua bulan, akhirnya Gyan meminta gue menjadi pacarnya. Kalau biasanya cowok nembak cewek dengan menyatakan perasaannya dengan romantis, maka Gyan lain dari yang lain. Jangankan makan malam di restoran dengan ruangan penuh lilin, tapi kami jadian di pinggir jalan. Tepatnya di warung bubur kacang hijau 24 jam.
Mungkin gue kualat gara-gara menghina Bella perihal tempat jadiannya yang nggak sesuai ekspektasi. Mendapat ungkapan cinta di depan air mancur, jauh lebih elegan ketimbang di warung kaki lima. Gue nggak bermaksud menghina. Gue sering jajan di pinggir jalan, baik itu dengan Gyan atau kedua sahabat gue. Namun, untuk jadian sama sekali nggak ada dalam bayangan gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
KATASTROFE (TAMAT)
Ficção GeralBagaimana jika Queen of Socialita, mendadak hancur? Segala yang ia punya; kepercayaan diri, keceriaan, dan kemandirian serta limpahan cinta yang menjadikan dirinya nyaris berada di titik sempurna, harus lenyap karena satu bencana. Bisakah Cristal ba...