»K-12«

64 15 7
                                    

Tangan gue mengepal erat demi menahan geram, saat berpasang-pasang mata menjadikan gue sebagai tontonan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tangan gue mengepal erat demi menahan geram, saat berpasang-pasang mata menjadikan gue sebagai tontonan. Ada yang terang-terangan memperlihatkan keterkejutan, ada pula yang cuma berani melirik diam-diam.

Kafe es krim langganan kami sejak kuliah ini memang nggak pernah sepi. Mungkin karena si pemilik mendesain ruangan bernuansa alam dengan beberapa tanaman hidup, sehingga menambah kesan asri dan menenangkan. Belum lagi pemilihan warna pastel di setiap benda yang ada di dalamnya, membuat siapa pun betah untuk berlama-lama berada di sini. Namun, yang pasti rasa es krimnya enak. Nggak terlalu manis, tapi susunya terasa dan juga lembut banget.

Awalnya Bella yang menemukan tempat ini. Hampir dua hari sekali, si pecinta es krim itu mengajak gue dan Belva untuk jajan atau sekadar nongkrong. Ya, dulu gue selalu nyaman berada di tengah pengunjung yang mayoritas pelajar dan mahasiswa. Bahkan setelah lulus kuliah pun, kami masih sering ke sini. Namun, sekarang sangat berbeda.

Gue nggak bisa menemukan kata nyaman di kafe ini. Sangat berbeda dengan yang gue rasakan saat di restoran hotel bareng Papi atau di warung bakso dengan Leon. Mungkin saat di restoran, pengunjungnya mayoritas sudah lebih dewasa jadi nggak begitu kepo dengan keanehan macam gue. Sedangkan pembeli di warung bakso pun kebanyakan para tenaga medis. Tentunya mereka sudah terbiasa dengan orang difabel seperti gue.

"Gue mau pulang!" Gue meraih tuas kunci di kursi roda. Tatapan mereka semakin membuat gue risih, karena beberapa bahkan dengan terang-terangan menunjuk ke kursi roda gue.

"Enak aja! Kita baru di sini lima menit, Cris. Es krim gue juga belum habis. Kenapa sih?" protes Bella.

Walaupun Belva sudah memilihkan meja di pojok ruang, gue tetap merasa nggak nyaman. "Kalau lo masih mau di sini, gue bisa panggil taksi."

"Lo kenapa sih, Cris?" Bella menahan tangan gue yang bersiap menggulir roda.

Gue menarik napas panjang. "Dari awal 'kan gue memang males ikut kalian."

"Jadi ... kalau sama kita lo males, tapi kalau diajak Leon mau. Lo udah nggak nganggep kita sahabat lo lagi, ya?" protes Bella.

"Udah deh, Bel, gue baru males ribut. Pokoknya gue mau pulang."

"Lo merasa jadi tontonan?" tembak Belva sambil menyandarkan punggung sambil mengamati sekitar.

Ucapan Belva mengusik harga diri gue. Walau sebenarnya apa yang dia katakan nggak salah. "Lepasin, Bel." Gue menepis tangan Bella yang masih menahan kursi roda gue.

"Sejak kapan lo jadi suka melarikan diri kayak gini?" Pertanyaan Belva kembali menghentikan gerakan tangan gue.

"Gue nggak melarikan diri!" desis gue tajam ke arah Belva. Memangnya dia siapa? Seenaknya menuduh gue yang enggak-enggak.

Belva tertawa pelan. "Lo ngacir gara-gara pengunjung kafe pada ngelihatin lo 'kan? Apa namanya kalau bukan melarikan diri?"

"Gue ... gue cuma capek." Alasan yang gue beri terdengar nggak masuk akal. Terlalu dibuat-buat.

KATASTROFE (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang