"Kak ...."
Mungkin membiarkan mereka masuk adalah keputusan yang salah. Baru mendengar suara Toni saja, sudah membuat bulu kuduk gue meremang. Dengan gampangnya kenangan tentang hari itu terpampang di pelupuk mata. Lalu bagaimana caranya gue bisa menatap ketiga orang yang kini sedang berdiri di belakang gue.
"Kak Cristal ...."
Kini ganti suara Budi yang masuk ke telinga gue. Antara rasa ingin menanyakan keadaan mereka dan takut memori itu kembali terulang, gue lebih merasa nggak sanggup untuk mengingat kejadian hari itu. Akhirnya gue memilih diam.
Terlintas keinginan untuk menyuruh Bi Minah mengusir mereka, tapi gue nggak setega itu. Gue yakin Budi dan Indah bakal sedih jika gue menyuruh mereka pergi. Padahal baru kali ini mereka berani menemui gue secara langsung.
"Kak Cristal."
Air mata gue turun dengan sendirinya saat suara Indah merasuk ke telinga. Gue nggak bisa mengartikan perasaan saat ini. Entahlah, terlalu carut marut. Namun, satu hal yang pasti, ada setitik lega di hati saat Indah memanggil nama gue. Gadis yang gue peluk erat hari itu ternyata selamat. Dia masih bisa menjalani hidupnya yang masih panjang. Dia masih bisa menyaksikan indahnya mentari.
"Kak ... maafin kami, Kak ...."
Tangis gue semakin pecah saat Toni dan Budi bersimpuh di bawah kaki kanan gue. Mereka memeluk kaki gue dengan erat.
"Maafin kami, Kak." Berkali-kali ucapan maaf terlontar dari bibir Toni dan Budi. Sedangkan tangis gue dan Indah saling bersahutan.
"Aku sebagai kakak nggak bisa jaga Indah, malah ... malah bikin Kak Cristal seperti ini. Aku nggak becus jadi kakak. Maafin aku, Kak." Toni masih saja bersimpuh dan gue yakin saat ini dia juga sedang menangis.
"Kak ... Budi minta maaf. Kalau dulu Budi nggak membiarkan Kak Cristal balik ke rumah, pasti ini nggak akan terjadi. Budi salah, Kak. Budi yang salah."
"Aku siap menerima apa pun kemarahan Kak Cristal. Aku bersumpah bakal menuruti apa pun perkataan Kak Cristal. Aku bersumpah bakal ikut ke mana pun Kak Cristal pergi. Aku yang akan menjaga Kak Cristal. Tolong biarkan aku menebus kesalahanku, Kak." Suara Toni terdengar tegas.
"Budi juga, Kak. Seumur hidup, Budi bakal ngikutin Kak Cristal."
Gue nggak sanggup lagi melihat kedua remaja yang kini bersujud di tanah. Namun, untuk menyuruh mereka bangkit pun gue nggak bisa. Seolah pita suara gue macet. Bahkan saat Indah menghambur turut memeluk kaki gue pun, hanya tangis yang bisa lolos dari mulut gue.
Kenapa mereka minta maaf ke gue? Apa mereka merasa bersalah sudah menjadi penyebab gue kehilangan kaki? Apa mereka menyesal? Namun, pertanyaan besar yang bercokol di pikiran gue adalah apakah benar ini semua salah mereka? Apakah gue menyesal menjalani semua ini?
Kalau gue nggak menyesal, kenapa gue malah memalingkan muka? Kenapa gue nggak tahan melihat Indah yang ternyata sehat nggak kurang apa pun? Kenapa gue merasa ini nggak adil? Kenapa cuma gue yang merasakan penderitaan ini, sedangkan mereka masih terbebas dari segala kesusahan?
KAMU SEDANG MEMBACA
KATASTROFE (TAMAT)
General FictionBagaimana jika Queen of Socialita, mendadak hancur? Segala yang ia punya; kepercayaan diri, keceriaan, dan kemandirian serta limpahan cinta yang menjadikan dirinya nyaris berada di titik sempurna, harus lenyap karena satu bencana. Bisakah Cristal ba...