Dering telepon memecah hening. Riana bergegas mendekat mengangkat gagang telepon. Dahinya berkerut ketika suara asing menggema.
"Ya. Siapa?" tanya Riana masih bertahan dengan tenang.
"Benar ini dengan Ibu Riana? Istrinya Pak Argaseta Bayanaka?"
"Ya. Saya sendiri."
"Begini, Pak Arga mengalami kecelakaan. Sekarang ia dibawa ke rumah sakit terdekat. Saya akan sharelock—"
Dug!
Riana jatuh terduduk di lantai. Tidak ada perasaan lain yang singgah selain jeri. Raganya rapuh, jiwanya repih.
Tangis diamnya menjadi saksi bahwa cinta masih bertakhta. Sekeras apa pun ia mencoba, tetap saja rasa itu masih sama. Riana masih mencintai lelaki yang hobi menyakiti. Lelaki itu tak lain dan tak bukan adalah sang suami.
---HISNANAD---
Istriku Riana. Nama itu Riana baca berulang kali di ruang tunggu. Istri? Melihat pengakuan tanpa suara yang berada di ponsel Arga, rasanya Riana ingin memeluk dunia. Namun, sekarang rasa bahagia itu terkalahkan dengan rasa resah tak terarah.
Dia menyakitimu, Ri. Bisik salah satu sudut hati Riana.
Meski begitu, kamu masih istrinya. Kamu juga masih mencintainya. Jergah sudut hati lain.
Tangis Riana berderai-derai. Tidak ada usaha menahan atau menghentikan. Wanita itu terisak lirih menahan sesak.
Pertarungan hati Riana belum usai sampai sekarang. Semua berjejal berusaha memenangkan. Akan tetapi, semua argumen itu benar. Riana tersakiti, tetapi ia belum bisa pergi.
"Ah, Tuhan. Kenapa aku memikirkan ini?" gumam Riana mengusap air mata.
Beberapa menit berselang, Mama Arga serta Arlan datang bertandang. Wajah yang setia diliputi keanggunan kini berubah sendu. Wanita paruh baya itu langsung mendekap sang menantu dan menyalurkan rasa nyaman.
"Kamu kuat, Sayang." Wanita itu menyemangati.
Dua wanita beda generasi tersebut sama-sama tergugu dalam senyap. Mereka menunggu di bangku dengan tangan bergenggaman erat. Di dalam sana, Arga tengah berjuang melawan sekarat. Semua sama-sama memiliki harapan agar ujian ini berlalu cepat.
Arga belum sadar selepas melakukan operasi patah tulang. Meski begitu, menurut dokter kondisi lelaki itu stabil dan tidak dikatakan kritis. Riana serta Mama Arga mengucap syukur berulang kali selepas penjelasan tersebut dikumandangkan. Wajah senang pun Arlan tampakkan, walaupun sejujurnya ia sangat tidak suka dengan sikap kakaknya yang semena-mena dengan Riana.
Pukul lima sore, Mama Arga bersama Arlan pamit untuk pulang. Tinggallah Riana yang setia menatap wajah lelap Arga.
Jari Riana bergerilya ke keyboard ponselnya. Sebuah pesan singkat ia layangkan kepada istri pertama. Sebisa mungkin ia tepis rasa egois. Cemburu? Bukan waktu yang tepat. Riana menekan hati agar bisa menempatkan diri pada posisi ini. Posisi di mana dia-lah satu-satunya peluang agar Maida bisa bertemu dengan Arga.
Lima belas menit kemudian, Maida datang. Anggukan sekilas Riana layangkan. Dengan berat hati, ia memberikan ruang pada Arga dan Maida bersama. Sekali lagi, Riana melakukannya, tetapi tetap tebersit rasa tak rela.
Riana memutuskan ke taman rumah sakit. Di sana, ia terduduk menatap ponsel sang suami. Rasa tahu memaksanya untuk melihat foto-foto di galeri Arga. Awalnya, rasa sakit tak terelakkan karena terpampang foto-foto Maida dengan senyum menawan. Selanjutnya, jari Riana berhenti pada sebuah foto familier dalam kisah hidupnya. Sebuah foto pernikahan alakadarnya.
Tidak sampai di situ. Rasa ingin tahu masih mengungkung hati Riana. Ia pun memutuskan melihat catatan milik Arga. Beberapa aksara tertulis di sana. Riana membacanya dan meneguk ludah susah payah. Kembali ia temui remukan hati.
Setengah jam duduk termenung, Riana kembali ke ruang rawat Arga. Kebetulan yang menyenangkan adalah Maida juga tengah keluar dari ruangan. Wanita itu tersenyum tipis.
"Terima kasih. Tolong rawat dia, ya."
"Pasti. Saya akan merawatnya."
Percakapan tersebut terhenti bersama dengan punggung Maida yang menjauh pergi. Tadi pagi, kabar kecelakaan Arga disampaikan Riana. Setidaknya banyak terima kasih yang harus Maida rangkai untuk madunya, karena selain menyampaikan kabar tentang kecelakaan Arga, Riana juga yang membuatnya bisa melihat keadaan sang suami.
Maida menghela napas selepas sampai di pelataran rumah sakit. Hatinya terketuk-ketuk. Rencananya terkatung-katung.
Dia baik. Apa ... aku salah menilainya?
Tanya tersebut bersarang dalam hati Maida. Ia bisa melihat ketulusan di mata Riana. Lantas, apakah ia akan meneruskan semua persaingan ini? Atau, hanya diakah yang berubah menjadi iblis di sini? Jika iya, apa yang sekiranya harus ia lakukan?
Di perjalanan pulang, Maida melebur dalam hujan serta tangisan. Hatinya jeri melihat sang suami terlelap dengan luka badan. Egonya repih melihat ketulusan Riana. Maida mulai goyah dari rencana semula.
Sakit? Tentu. Maida sesak membayangkan bagaimana bisa Arga membagi semuanya hingga bertuah di rahim Riana. Akan tetapi, tidak dapat Maida temui keegoisan Riana untuk merebut Arga. Justru wanita itu selalu diam menerima luka.
Kembalilah!
Suara itu berteriak dalam dada Maida bersama datangnya kenangan kelam lapuk. Ketika ia mencintai seseorang lantas dicintai seseorang. Kemudian cinta itu menghancurkannya dalam lubang dosa. Ia menuai lara.
"Saya mencintai kamu!"
Kalimat itu terngiang-ngiang dalam tangis pilu. Maida melebur dalam kuyup yang kalap.
Gigilan Maida mengantarkannya pada kebimbangan atma. Dia seperti kehilangan kendali. Dia seperti bukan dirinya. Dia ... ingin kembali.
---HISNANAD---
Bujukan Mama Arga tiada berarti. Riana tetap mantap pada keputusan semula untuk menunggu Arga sampai membuka mata. Badannya memang pegal, tetapi rasa khawatir mengusir semua lelah.
"Gak kasihan sama janinmu?" Arlan mulai membuka suara.
"Aku khawatir, Lan."
"Ya. Ya. Ya. Keras kepala."
"Kalau kepalanya empuk namanya ubur-ubur." Riana membalas dengan wajah kesal.
Arlan menggeleng pelan. Ia angkat tangan dan memilih pulang. Terpaksa tadi ia mencari baby sitter dadakan untuk Alfa. Peraturan rumah sakit membuat mereka meninggalkan Alfa di rumah. Arlan bersyukur. Akan tetapi, hatinya masih setia mengganjal. Mau tidak mau, ia mengakui sedikit terusik dengan sikap Riana. Argh! Dia itu kakak iparmu, Lan! Arlan berteriak mensugesti diri.
Pukul sembilan malam, Arga mulai mengalami pergerakan. Riana senang bukan main dan memanggil dokter. Harapannya patah saat tahu pergerakan tersebut hanyalah semu. Arga belum sadar saat itu juga.
"Sabar," lirih Mama Arga menyalakan bara semangat.
Riana mengangguk kecil. Ia kembali terjaga meski kantuk berulang kali menyerangnya. Matanya seakan ingin memejam, tetapi keinginan hatinya lebih besar.
Pukul sepuluh malam, Riana khilaf. Ia tertidur di samping Arga dengan menyandarkan kepala di dekat lengan suaminya.
Arga merasakan kesadarannya kembali. Selepas membuka mata, cahaya benar-benar menyilaukan mata. Ia bergerak kecil dan pemandangan menarik ia dapatkan.
Di sampingnya, wanita berhijab biru tengah terlelap. Siapa lagi wanita itu jika bukan Riana? Arga tersenyum kecil dan kembali mengenang kecelakaannya.
Timbullah pertanyaan dalam benak Arga. Mengapa antara sadar dan tak sadar, ia mengucap nama Riana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Menyerah [TALAK AKU, MAS!] (18+) (Completed)
ChickLitRiana tidak suka bercanda. Namun, takdir suka bercanda dengannya. Mulai dari jatuh cinta pada sepupu, diminta menjadi ibu sambung, menjelma istri seorang lelaki es, dan berakhir menjadi istri kedua. Ia hanya bisa pasrah ketika takdir begitu kejam me...