17.| Kelakuan Maida?

5.2K 477 24
                                    

Meja makan yang sudah dipenuhi tiga orang itu diserang keheningan. Arga menatap sang mama juga Alan yang bersikap tenang. Makan malam telah mereka selesaikan sedari beberapa waktu tadi, tetapi belum ada sepatah kata yang dikatakan Arga. Ini mengganggu Alan yang memang sudah hafal bahwa sang kakak terkadang memiliki sifat tak terduga.

"Kenapa diam? Apa yang ingin disampaikan?" Alan menatap Arga dengan tatapan biasa.

Sebenarnya, sejak hilangnya Riana, Alan muak dengan Arga. Apalagi belakangan ini diketahui alasan Riana pergi adalah Maida, wanita parasit sekaligus jalang penggalang dosa.

"Baca!" Dingin, Arga melemparkan kertas-kertas berisi gambar hitam putih.

Sedikit tertarik, Dayu mengambil salah satu kertas tersebut. Ia tenang melihat gambar dirinya dan Alan yang bekerja sama, tempo lalu. Lantas, wanita paruh baya itu menatap Arga dengan tatapan sendu.

"Kenapa kalian bersikap demikian kepada wanita yang aku cintai?" tanya Arga.

"Maida itu sudah sah menjadi istriku. Kalian ... kenapa tak bisa memberi sedikit saja rasa kasihan padanya?"

"Tidak! Jalang tetap jalang." Berbeda dengan Dayu yang tenang, Alan sudah menahan mulutnya yang gatal sekuat hati, tetapi tetap saja Maida memang harus dibasmi.

"Lo gak usah ngomong dulu!" Arga menunjuk muka Alan murka.

"Gue bakalan ngomong! Gue bener-bener ga sudi lo bawa jalang itu ke sini—"

"Dia punya nama!" potong Arga terengah meredam emosi.

"Jalang. Namanya jalang, 'kan? Wanita jalang yang dengan tega-teganya merusak rumah tangga orang tua lo, mau lo jadiin istri? Gila! Sinting!" Alan memaki-maki tanpa jeda.

Sejenak, Arga bangkit dari duduknya. Dia menarik kerah kemeja sang adik hingga dua mata mirip itu saling beradu. Dayu ikut berdiri menahan nyeri mengenang lalu yang meninggalkan lara tak terperi.

"Lo bilang apa?" Arga mengeratkan rahangnya.

"Dia jalang! Lo kudu tahu kalau dia selingkuhan bokap! Mereka sampe hampir mati di mobil yang sama! Asal lo tahu!"

Cekalan Arga mengendur. Sorot kemarahan menguar. Dayu buru-buru melerai keduanya. Ia berdiri di tengah-tengah kedua putranya.

"Sudah-sudah—"

"Benar yang dikatakan Alan, Ma?" tanya Arga sembari mencekal lengan sang mama.

"Arga—"

"Jelasin aja, Ma! Jelasin! Pacar yang dulu dikenalkan dengan sifat lugu malah jadi lacur penjilat uang! Gak pantes dia di sini!" Alan mengeluarkan semua kata-kata kotor karena bencinya pada Maida benar-benar mengakar di hati.

Awal kenal, Alan kira Maida adalah sosok yang baik dan bijaksana. Namun, makin ke sini, lelaki itu agak curiga. Tepatnya ketika Maida diangkat menjadi sekretaris sang papa, saat Arga menempuh pendidikan di luar kota.

Alan pernah memergoki bagaimana raut menjijikan wanita muda itu menggelayut di dada sang papa. Amarahnya membara, tetapi Alan hanya diam. Tepat selepas kecelakaan yang menewaskan sang papa, Maida ditemukan di kursi samping kemudi.

Sang Mama pun mulai menyatakan keraguan akan papanya. Alan setuju membantu menguak kenyataan adakah affair antara calon kakak iparnya dengan sang papa. Dan rentetan bukti chat mesra terpampang di ponsel sang papa. Alan murka. Sang mama hancur menerima kehilangan dalam balutan penghianatan.

Mereka diam karena sepakat untuk memisahkan Arga secara baik-baik dengan Maida. Nahasnya, wanita kotor itu menjebak Arga dalam pernikahan sabotasenya. Tak disangka cara pembalas dendaman yang dilakukan Dayu dan Alan justru menambah luka pada orang baru yang tak tahu apa-apa.

"Sudah baca?" Alan menatap Arga dengan mata memerah.

"Bisa jadi Alfa bukan anak lo tapi anak papa bajingan kita—"

"Alan!" Dayu menatap sang putra.

"Gapapa, Ma. Alan tahu kalo ga ada papa, Alan ga bakal jadi manusia, tapi ... perselingkuhan ini cukup menjijikan. Alan aja kadang-kadang gemas pengen ngerobek muka karena turunan lelaki tak setia."

Arga diam. Membaca tiap screenshot pesan sang papa dengan Maida. Hatinya teremas. Ia merasa sakit hati, tetapi rasa cemburu justru tak datang. Arga lantas bangkit dari duduknya.

Tanpa mengatakan apa-apa, lelaki itu berhambur memeluk sang mama. Ia menggumamkan maaf berkali-kali tanpa jeda.

"Maaf, Ma!"

Dayu hanya bisa mengelus punggung sang putra lembut. Selama kecil, Arga memang dididik dengan kekerasan. Banyak pukulan serta tindasan yang dilayangkan almarhum sang suami pada sang putra. Apabila Dayu mencoba membela, ia juga akan kena getahnya. Hasil didikan yang kekurangan kasih sayang menjadikan anak sulungnya menjadi temperamental, pemarah, dan keras kepala. Dayu tak tega jika dulu harus jujur pada Arga. Karena ia ingin anak sulungnya tak lagi terluka.

"Kenapa Mama nggak jujur pada Arga?"

Dayu menggeleng. "Mama gak bisa. Mama udah merasa berdosa sekali padamu, Ga. Mama gak kuat melihat kamu terluka kesekian kali hanya karena lelaki yang kamu panggil papa."

Air mata wanita itu mengucur deras. Dua aliran air menetes membelah pipi itu. Arga mendesis ia menggeleng lantas menyesal.

Jika ia menuruti sang mama, jika ia tak menuruti Maida, jika saja perjodohan dengan Riana ia lakukan dengan baik, semua tak akan jadi rumit. Semua tak akan melukai hati. Semua akan baik-baik saja.

Arga melepas pelukan sang mama dan menatap sang adik lekat. Lelaki itu mengulurkan tangan dengan senyum tipis menghiasi wajah.

"Maafin gue. Gue udah gagal jadi kakak buat lo!"

Alan diam. Ia tak menyambut uluran tangan lelaki itu. Namun, ia malah menghambur memeluk lelaki yang ia sebut kakak tersebut.

Bagaimana bisa Alan membenci sang kakak jika darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah yang sama? Semarah-marahnya Alan, lelaki itu tak mungkin menghakimi sang kakak. Dia cukup tahu bahwa Arga sering melindunginya tiap kali pukulan sang papa hendak melayang. Bahkan tak jarang Arga pula yang selalu berbohong melakukan kesalahan meski Alan yang melakukan.

"Lo tetep kakak gue."

Terlepas dari semua huru-hara yang ada, Alan tetap menyayangi kakaknya. Ia hanya perlu memperlihatkan porsi sayangnya itu untuk beberapa waktu. Seperti, melepaskan Riana meski pada akhirnya wanita itu tersakiti.

"Ma, izinkan Arga meluruskan semua."

Lelaki itu pamit meninggalkan rumahnya. Ia mengemudi mobil dengan kecepatan sedang menuju apartemen. Tanpa basa-basi ia langsung menuju ke tempat Maida selepas memarkirkan mobil.

Sebelum pintu diketuk, Arga mendengar tangisan Alfa yang menjadi. Juga omelan Maida yang terdengar tanpa henti.

"Diem! Bisa diem gak sih?! Pusing gue ngurusin lo! Kalo gak perkara gue butuh, dah gue buang lo dari dulu!"

Arga menarik napas lantas mengetuk pintu. Maida membuka pintu dan mulai menguasai diri tersenyum simpul.

"Sayang—"

"Ikut aku!" Arga membalas senyum itu dengan wajah datar.

"Ke mana? Jalan-jalan? Sebentar, ya, aku ganti baju dulu!" Maida terlihat antusias.

"Bukan jalan-jalan. Kita ke rumah sakit. Tes DNA, Alfa itu anakku atau anak papaku." Tenang. Arga mengatakan kalimat itu dalam satu tarikan napas.

Hening. Arga menata Maida datar. Sedangkan Maida menahan napas mendengar kalimat itu.

"Sayang—"

"Aku menalakmu, Maida."

"Apa?"

Menyerah [TALAK AKU, MAS!] (18+) (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang