“Aku baik-baik saja.” Riana bergumam setelah beberapa menit menyembunyikan wajah di lutut.
Hancur? Lebih dari itu yang bisa Riana rasa. Dia siapa? Mengaa harus dia? Kenapa tidak wanita lain yang berada di posisi ini? Banyak pertanyaan yang berjubal di kepala. Namun, tidak satu pun yang bisa keluar dari mulutnya. Riana membisu dengan lara yang ia telan sendiri.
Semua kehancuran berawal dari pagi yang hangat. Arga sempat tersenyum dan melempar candaan pada Riana. Tawa Alfa mengiringi pagi mereka. Riana kira dia sudah berhasil mencairkan si Kutub Utara. Nahas, ketika ketukan terdengar nyaring dan pintu utama terbuka hatinya bertalu tak berirama.
Mungkin, tidak jauh apa yang Riana rasa. Arga menatap Maida dengan tatapan entah. Adegan saling pandang itu terhenti ketika Maida menerobos masuk dan memeluk suaminya.
Suaminya? Riana bertanya lirih. Ternyata dia menikahi suami orang? Sungguh lucu kenyataan yang baru menimpa dirinya.
Tangis Maida meleur, Riana membisu tersisih. Kemudian, Riana melihat interaksi selayaknya wanita yang kecewa suaminya menikah lagi. Tentu dengan sadar diri, Riana memilih mundur dan meminta talak. Arga terdiam. Namun, ketika lelaki itu membuka suara, semua luka berlomba menyerbu dirinya. Semua harapan Riana hancur, hatinya babak belur, dan persepsi tentang Arga si pria dingin penuh kasih sayang kini berganti menjadi persepsi lelaki egois tanpa perasaan.
Dimanfaatkan? Riana tidak tahu pasti ia menemui ata itu tiap perjalanan hidupnya. Ia sangat akrab dengan kata itu. mulai dari ayah yang suka menghamburkan uang, bu tiri berkelakuan setan, dan sekarang dia menjadi korban dari seorang lelaki yang dicintai.
Tuhan, apa di mana saja tempat yang kupijak akan ada luka yang mnemani? Riana frustrasi memikirkan pertanyaannya. Seandainya Arga menalaknya, semua tidak akan menjadi sesak berkali lipat. Arga tidak melepaskannya dan memanfaatkannya. Mememanfaatkan berarti melukai lebih dalam. Memanfaatkan berarti tinggal berdampingan duka. Kuatkah dia?
“Aku baik-baik saja,” ujar Riana menghibur diri.
Ia bangkit dari duduk dan keluar kamar. Kakinya terpaku di ambang pintu melihat kelakuan dua orang di hadapan. Dua orang yang saling peluk dan saling berbagi napas dari sebuah pagutan. Mata Riana memanas tanpa aba. Tanpa suara, ia kembali masuk dan menarik pintu secepatnya.
Argaseta Bayanaka. Nama itu pernah Riana doakan menjadi imam. Sifat lelaki tanpa kejaiman membuatnya terpesona. Riana patah dalam diam saat pernikahan Arga dan Maida diumumkan. Ketika takdir memberikan kesempatan kedua pada Riana, ia pun menerima untuk datang dan menjadi istri Arga. Satu menit setlah akad, Riana baru tahu bahwa lelaki itu tidak mudah menjatuhkan hati. Ia hanya bisa meredam nyeri ketika uluran tangan sebagai istri diabaikan. Ia hanya bisa menelan saliva ketika rumah Arga bergelantungan foto Maida. Ia hanya bisa menerima dan menerima sekalipun hatinya berteriak terluka.
Entah sampai kapan Riana harus begini. Ia tidak tahu pasti. Satu hal yang ia tahu, ia sudah lelah untuk tersakiti.
Riana merebahkan diri ke kasur. Ia memejam dan berharap dengan tidur semua adegan tadi bisa hilang. Ia berharap dengan tidur, sakitnya buyar.
Di antara sadar dan tidak sadar, Riana bisa mendengar pintunya terbuka. Di sisi lain, antara hati dan pikiran, Arga memberanikan diri melihat istrinya.
---HISNANAD---
Ruangan bercat biru tersebut diisi dengan keheningan. Tiga orang yang tengah duduk itu saling melempar pandang. Maida menatap Riana dengan tatapan sengit.
“Bisa kita mulai sekarang?” Arga menatap Riana dan Maida bergantian.
Seusai semua mengangguk, Arga berdeham. “Aku sudah memutuskan bahwa selama penyusutan kasus dan pengumpulan bukti kecelakaan Maida, Riana tetap berstatus sebagai istriku.”Hening. Riana tidak bisa menolak takdir yang menghajarnya. Dia hanya bisa menunduk pasrah pada semua.
“Aku juga memutuskan, Maida dan kamu akan pisah rumah. Sementara, Maida akan tinggal di apartemen.”
Lagi. Riana tidak bersuara. Toh, Arga tidak meminta pendapatnya. Arga hanya memberitahunya. Rianacukup mengapresiasi usaha lelaki itu. Ia juga bersyukur dengan pisah rumah hatinya tidak akan terluka lebih dalam seperti tadi.
“Apa perlu melibatkan wanita itu dalam rencana ini?” tanya Maida dengan nada enggan.
“Sayang, aku perlu waktu untuk mengusut semua ceritamu tadi. Hanya sementara saja, kok.”
Sayang? Hem? Riana tidak bisa melakukan pergerakan apa-apa lagi. Semua sudah terlanjur. Nasi sudah menjadi bubur. Harapannya telah hancur.
“Baiklah, aku dan Maida akan keluar.” Arga berpamitan sekenanya.
Sesaat sebelum keluar, Maida mendekatinya. Wajah wanita itu tidak terllau bersahabat. Riana tahu diri, dia pasti sakit hati.“Aku harap kamu bisa dipercaya sebagai alat di sini!” bisik Maida sembari menepuk pundak Riana.
“Aku hanya alat!” Riana bergumam sebelum tersenyum pedih.
Lewat jendela ia bisa melihat kemesraan dua insan tersebut. Apa benar, bahwa peran antagonis di sini adalah dirinya?
Pikiran Riana masih kalut meski sekarang matahari tak nampak lagi. Malam menjadi pekat kala hawa dingin menampar badannya di loteng. Sore tadi, ia sudah bisa menghibur diri dengan Alfa. Bocah itu mampu mengalihkan semua laranya. Sekarang, dalam sunyi lara itu kembali hadir menyambangi.
Pukul sebelas tepat suara klakson memekakkan telinga. Riana buru-buru turun dan membuka gerbang. Wajah semringah Arga membuatnya hanya bisa menerka bahwa lelaki itu kembali hidup setelah menemukan pelitanya.“Perlu air hangat?” tanya Riana mengekori Arga.
Sekadar formalitas seperti yang biasa dia lakukan. Sungguh, Riana tidak bermaksud apa-apa.
“Tidak perlu.”
Jawaban itu diikuti oleh tengokan lambat. Sekilas, tampak kemeja yang Arga kenakan terdapat noda lipstick. Nyeri itu mengungkung hati Riana dalam diam.
“Mereka suami istri jadi wajar,” lirih Riana sembari mengusap dada.
Tiba di kamar Alfa, ponselnya terlihat menyala. Buru-buru Riana melihat pesan yang tertera.
Damn!
Dalam hitungan detik nyeri itu semakin menjadi. Sebuah foto dengan Maida yang mencium pipi Arga meruntuhkan semua ketegaran Riana.
We are Arga and Maida. Not, Arga and Riana. Understand?
Mengerti. Riana mengerti Arga hanya milik Maida. Namun, tidak begini juga. Demi apa pun rasanya ia tidak bisa bernapas karena menahan sesak.
Riana mencintai Arga, tetapi Arga tidak mencintai Riana. Perlu berapa kali Riana harus merapal mantra tersebut dalam hati. Seratus? Seribu? Berapa kali pun hatinya tetap menaruh rasa pada Arga.Embusan napas kembali Riana lakukan. Otaknya kembali mengingat kejadian satu bulan yang lalu. Ketika Arga pulang dengan ekspresi berbeda. Ketika Arga dengan lancang menciumnya. Ketika Arga dengan paksa merenggut haknya. Ketika Arga lupa segala yang terjadi di pagi hari.
Menerima. Hanya itu yang bisa Riana lakukan. Dia tidak bisa melawan meski ia tahu kemungkinan buruk bisa saja terjadi. Ia juga tahu, kejadian tersebut merupakan kesalahan. Kesalahan itu wajib dilupakan? Bukankah begitu? Namun, kesalahan itu menyisakan lara dalam dada Riana secara diam-diam.
Heng, next? Pengen deh nyelesain cerita ini dalam tiga hari tapiiii 😑 mood saya naik turun. Pengennya saya post di Wattpad sampai tamat. Hem, mohon dukungan ya man-teman. 😍Tks.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menyerah [TALAK AKU, MAS!] (18+) (Completed)
ChickLitRiana tidak suka bercanda. Namun, takdir suka bercanda dengannya. Mulai dari jatuh cinta pada sepupu, diminta menjadi ibu sambung, menjelma istri seorang lelaki es, dan berakhir menjadi istri kedua. Ia hanya bisa pasrah ketika takdir begitu kejam me...