13.| Then

7.4K 641 39
                                    

Hening. Egois jika Maida mengajukan permintaan tersebut. Akan tetapi, sebagai wanita, ia tetap tidak mau dijadikan yang kedua maupun diduakan.

“Sayang?”

Hening. Arga masih bertahan dalam keheningan. Hal itu pulalah yang menciptakan pergesekan di hati Maida paling dalam.

“Sayang?” Panggilan kedua Maida hanya dibalas senyum simpul oleh Arga.

Lelaki itu kini menatap sang istri lamat-lamat. Seperti perkiraannya, semua sudah terlambat. Hanya beberapa rasa tersisa dengan selamat. Lainnya, telah tamat.

“Sayang?”

Getar dalam irama panggilan tersebut berusaha Maida tahan. Nahasnya, tidak bisa. Hatinya menemukan kilat asing di kedua mata bening milik Arga. Kilat mata seseorang seolah tanpa memiliki rasa.

“Ya.”

Satu kata itu menghantarkan Maida ke dalam ketenangan. Lain halnya dengan Riana yang kembali karam dalam kehancuran.

Secara spontanitas, Maida langsung berhambur dalam peluk Arga. Dalam posisi itu, Arga melirik ekspresi terluka dari Riana. Kembali, ia berada pada peran antagonis di sini. Ia ... kembali kalah.

---HISNANAD---

Dua minggu dirawat di rumah sakit, akhirnya Arga diperbolehkan pulang. Riana merasa senang. Meski dalam hati masih terselubung lara, ia berusaha baik-baik saja.

Selama dua minggu di rumah sakit, Maida rutin mengunjungi Arga. Riana pun tetap membantu wanita itu selaiknya hari-hari yang telah berlalu. Tentang perjanjian Arga dan Maida, Riana hanya berusaha mengabaikan. Ia takut jika terlalu dipikir, maka bayi dalam kandungannya akan terkena imbasnya.

Selama dua minggu di rumah sakit pula, Riana telah mencoba menjaga sikap. Ia memberikan kebutuhan-kebutuhan Arga tanpa banyak cakap. Jika Arga mencoba membuka pembicaraan, Riana hanya menjawab dengan singkat.

Tidak salah 'kan jika hal itu dilakukan? Toh, Riana mulai lelah untuk egois dengan rasanya. Pilihan untuk mengantisipasi menurutnya lebih baik daripada mengobati.

"Ri."

Panggilan itu menyadarkan Riana di rumah ini. Ia menoleh dan menatap Arga singkat.

"Ya?" Riana bertanya masih dengan memunggungi Arga.

Arlan dan Mama Arga baru saja pulang. Mereka yang membantu Arga sampai di kamarnya. Seperti janji, Mama Arga akan ke sini sore nanti.

"Bisa minta tolong sesuatu?"

Dahi Riana berkerut. Wanita itu menoleh lantas menampakkan wajah tanpa senyuman.

"Ya? Silakan. Jika bisa, akan kulakukan."

Arga menatap wanita di hadapan. Perkiraannya benar. Riana memang berubah dan berusaha menghindar akhir-akhir ini. Jujur, sikap wanita itu membuatnya terusik. Akan tetapi, Arga hanya bisa diam menerima. Padahal, pertanyaan Maida kemarin belum tuntas ia jawab. Istri pertamanya itu justru memotong semua dengan pelukan.

Waktu itu, Arga telah merencanakan sebuah pengakuan. Semua kacau balau dan menimbulkan kesalahpahaman.

"Duduklah di sini," ujar Arga.

Sudut hati Riana ingin tersentuh mendengar kalimat tadi. Kewarasan serta lukanya yang menghalau semua. Riana terpaku dan menggeleng ringan.

"Maaf, Mas. Aku tidak bisa."

Sebelum kaki Riana berhasil melangkah pergi, suara Arga menggema sekali lagi.

"Ri, maaf."

Satu kata favorit itu Riana abaikan dengan ekspresi datar. Saat itu juga, Arga tahu bagaimana rasanya diabaikan yang menyakitkan. Ia diam dan kembali berbaring dalam hening. Di hatinya kembali berperang dua nama wanita. Sekali lagi, Arga marah pada diri sendiri.

Kenapa semua bisa begini? Kenapa semua harus berubah? Mengapa harus dia? Ia lelap dalam kalut. Tanpa sadar, Riana mengintip dari celah pintu kamar. Tak dinafikan hatinya kembali bergetar.

---HISNANAD---

"Ri, bisa minta tolong bawa aku ke kamar mandi?"

Siang hari yang terik, selepas memikirkan rencana berbaikan, akhirnya Arga menemukan ide tersebut. Riana yang tengah berada di ambang pintu terpaku. Matanya melebar kikuk.

Seharian tadi, Riana melakukan tugas yang tidak berhubungan langsung dengan Arga. Dengan begitu ia harap bisa menghindar dari Arga. Nahasnya, hal tersebut tidak berlangsung lama. Kali ini, bagaimana bisa ia menghindar.

"Akan kupanggilkan Mbak Sila," ujar Riana sembari berbalik bersama Alfa di gendongannya.

Sila adalah baby sitter sekaligus pembantu baru. Wanita berjilbab itu tampak sopan dan santun hingga Riana tak masalah ia bekerja di sini.

"Kenapa tidak kamu saja, Ri?" Tanya Arga menghentikan langkah Riana.

"Aku tidak yakin Sila mau. Lagian, kamu masih istriku. Jadi, tidak ada alasan kamu menolak."

Riana linglung mencari alasan. Namun, mau tidak mau, dia mengangguk lemah. Dititipkannya Alfa lantas ia kembali ke hadapan Arga.

Dibantu kruk dan Riana, Arga menuju ke kamar mandi. Di sana, jantung Riana tidak bisa berdetak biasa. Detakan luar biasa tersebut menggedor hatinya hingga tangannya bergetar setelah menutup pintu.

Riana masih membelakangi Arga ketika lelaki itu mulai membuka kancing baju. Ruang gerak Riana benar-benar terbatas sekarang. Ia ingin berbalik tetapi ketakutan mengungkung perasaan.

"Ri," panggil Arga mengenyahkan segala pemikiran Riana.

"I–iya, Mas?" Riana gelagapan berbalik. Secepat kilat ia kembali memunggungi Arga.

Senyum Arga terukir melihat tingkah Riana. "Jadi, bantuin aku?"

"Mas sepertinya bisa sendiri. A—aku—"

"Jadi, kamu enggak mau membantu suamimu?" potong Arga dengan cepat.

Baiklah, Riana kalah telak kali ini. Ia berbalik dan menetralkan hati. Perlahan dengan handuk dibasuhnya wajah Arga. Tatapan Arga membuat Riana kalang kabut untuk menghindar.

Ya, Tuhan, kenapa Kau ciptakan makhluk seperti dia? Riana agak geram. Sempat-sempatnya ia terpaku melihat wajah tampan sang suami.

Kini, cobaan Riana bertambah berat, ia harus membasuh dada Arga. Riana meneguk ludah sebelum memejam dan menempelkan handuk basah di dada Arga. Ketika itu pula, Arga bergerak cepat dan mencekal lengannya erat. Satu tarikan berhasil menumbangkan Riana ke pangkuan Arga.

Ekspresi terkejut Riana tampakkan. Berbanding terbalik dengan ekspresi wajah Arga yang tenang dan terlihat menawan.

"M—mas?" Terbata Riana hendak berdiri. Akan tetapi, pergerakannya dilumpuhkan oleh cekalan Arga serta kecupan yang tiba-tiba mendarat di pipi.

"Ada apa, Ri?" balas Arga tetap dengan kesantaiannya.

Mata keduanya saling bertaut. Hati mereka berdetak bersahutan dalam keheningan.

"Le—lepaskan," pinta Riana sekenanya.

Arga diam. Melihat respons demikian, Riana berusaha melepaskan diri. Nahasnya, ia tetap dalam cekalan sang suami.

"Terima kasih dan mohon maaf," bisik Arga melumpuhkan usaha Riana.

Lelaki itu menyandarkan kepala di pundak istrinya. Riana bukannya tidak suka. Ia hanya terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa.

"Maaf dan terima kasih." Arga mengulangi kalimatnya.

"Untuk apa?" Riana mencoba menimpali masih dengan debar di hati.

"Maaf untuk semua luka dan terima kasih untuk segala sabar juga cinta."

Tidak ada sepatah atau dua patah kata yang bisa Riana ucap. Wanita itu terlanjur khusuk dengan posisi diamnya. Ia tak mengerti juga tak paham dengan ucapan Arga.

Luka? Dia paham. Lantas, cinta? Apa Arga sudah tahu tentang perasaannya? Atau, Arga mulai mencintainya? Tanya itu menari-nari serta kembali menebas usahanya untuk berlari.

Menyerah [TALAK AKU, MAS!] (18+) (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang