Maida merasa puas selepas mengirim pesan tersebut kepada madunya. Di depan cermin, wanita itu tersenyum lebar dan bertepuk tangan. Tawa lirihnya menggema sebelum air mata turun perlahan.
Kecelakaan sembilan bulan yang lalu masih terekam jelas dalam ingatannya. Semula, ia mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Lantas, teleponnya berdering kencang. Sebuah pesan berisi ancaman itu Maida baca dengan tangan gemetar.
[Selamat mati, Nona. Lihat saja remmu tidak akan berfungsi pada akhirnya.]
Fokus Maida buyar seketika. Ia mencoba mengerem. Benar saja, remnya tidak berfungsi. Saat panik menyerang, mobil hilang kendali karena tanpa sengaja Maida mempercepat lajunya. Tiba di belokan, suara berdebum mengiringi dirinya hilang kesadaran.
Maida tidak tahu berapa lama ia memejam. Saat, membuka mata, dia merasa sakit tak tertahankan di area perut. Tepuk tangan mengiringi matanya yang menyipit. Dua orang di hadapan menatapnya sengit.
“Sudah sadar? Kukira sudah mati kau!” Arlan berkata sinis.
“Kamu keguguran. Rahimmu diangkat karena bermasalah selepas kecelakaan.” Dingin, suara Ibu Arga menggema.
Membeku. Maida merasa hatinya diremas. Matanya ikut memanas. Dia hamil? Lantas, kehilangan anaknya? Tidak berhenti di situ, ia juga kehilangan rahimnya.
“Jangan menangis. Sudah pernah saya ingatkan tentang semua? Kenapa kamu masih ngeyel mendekati Arga?”
“Saya mencintainya!” tegas Maida menatap ibu mertuanya.
“Oh! Aku tidak percaya, Nona. Semua yang kamu lakukan ....”
Tidak. Ibu Arga tidak bisa melanjutkan semua katanya. Hatinya ikut teremas karena mengingat kejadian lama penuh luka dan lagi-lagi mengorbankan anak sulungnya. Argaseta Bayanaka. Ia sudah memperingatkan pada lelaki itu dengan cara halus. Sungguh, sebagai ibu dia tidak bisa melukai anaknya dan menjelaskan secara terang-terangan tentang semua.
Namun, wanita bernama Maida itu tetap saja meringkus Arga dalam cinta. Entah semu atau nyata, Ibu Arga tetap tidak menyetujui pernikahan anaknya dengan Maida. Sampai kapan pun itu.
“Pergilah!”
“Aku mencintai, Arga,” desis Maida tak terima.
Dayu, Ibu Arga, tersenyum mengejek. “Pergi atau saya beberkan semua.”
Berapa pun kalimat pembelaan yang Maida ucap, mertuanya tidak akan percaya. Mengingat semua kejadian itu rasa sakit lain menyerang. Batin dan fisiknya terluka.
Maida menghela napas lirih. Dadanya masih nyeri meski tangisnya kian deras. Kenyataannya dia mencintai Arga, tetapi kenapa semesta tidak merestui.
Selepas pengusiran dan pengancaman tersebut, Maida hilang arah. Dayu dan Arlan meninggalkannya sendiri di pulau Kalimantan. Semua harta dan akses komunikasi miliknya dibawa dua orang tersebut.
Sembilan bulan lamanya Maida bertahan hidup dengan caranya. Ia mati-matian menahan rindu dan berusaha mencari uang untuk pulang. Ketika rindunya membumbung tinggi, ia dijatuhkan pada lubang duka. Suaminya dipaksa menikah dengan Riana.
Maida mengusap air matanya kasar. Ia mengepalkan tangan dan tersenyum penuh kemenangan. Pertarungan akan dimulai. Dia akan memenangkan hati Arga lagi. Matanya melirik ke ranjang yang berantakan. Itu adalah bukti dari cinta Arga masih untuknya.
“Riana Khaira Zulfa, jangan pernah bermimpi untuk bisa menggantikan posisi Maida Adara. Arga untuk Maida bukan Riana.”
Prang!
Kalimat itu diakhiri dengan pecahnya kaca di hadapan Maida. Ia tidak peduli, karena dengan begitu batinnya merasa puas. Dalam hati tekadnya kembali bulat, ia akan merebut apa yang menjadi miliknya. Semuanya.
---HISNANAD---
Pagi Riana diawali dengan rasa pening di kepala. Mual ikut mendominasi mebuatnya berkali-kali ke kamar mandi. Akan tetapi, hanya saliva yang dia keluarkan.
Mungkin karena aku belum sarapan! Riana berkata lirih sebelum suara tangis Alfa menggema.
Sedikit berlari, Maida menuju ke kamar balita tersebut. Dalam gendongannya Alfa terdiam dengan mata terpejam. Wanita itu pun berjalan dan berusaha menjaga keseimbangan, tetapi rasa pening membuatnya sempoyongan dan keseimbangannya hampir hilang. Beruntung tangan kekar menahan pundaknya.
“Apa kamu akan berusaha untuk membunuh Alfa setelah apa yang terjadi?” Pertanyaan itu diiringi dengan tarikan Alfa dari gendongannya.
Arga berdiri tegap dengan mata menyipit kesal. Hati Riana yang belum baik-baik saja kembali merasa nyeri atas tuduhan tadi.
“Apa serendah itu aku di pikiranmu?”
Enggan berdebat, Riana kembali ke dapur. Tidak ada pelampiasan lain selain menggunakan pisau dengan cepat. Hingga, dia berhenti ketika jarinya teriris. Ketika darah tersebut mengalir, kepuasaan bertakhta di hatinya.
“Darah,” lirih Riana membiarkan darahnya tercecer.
Sudah lama Riana melupakan caranya melampiaskan amarah. Seperti menyilet lengannya atau memukul tembok, ia pernah melakukan hal gila tersebut. Bekas luka di tangannya masih ada jika Riana tidak memakai baju lengan panjang.
“Aku akan pergi ke apartemen. Jaga Alfa!” Suara Arga menggema membuat Riana berbalik.
Buru-buru ia menyesap jarinya. Lantas, dengan cepat ia meraih Alfa ke gendongannya.
Arga tidak buta dan melihat jari istrinya terluka. Namun, ia memilih abai. Toh, dia menikahi Riana bukan karena cinta. Jadi, buat apa ada perhatian?
“Hati-hati!” ujar Riana setelah Arga menjauh pergi.
Entah sekadar formalitas atau apa, Riana menikmati ini. Meski di sini, hanya dia yang perhatian, hanya dia yang merasa cinta, dan hanya dia pula yang lukanya paling dalam. Riana terkadang mengutuk takdir, tetapi di balik semua, dia menikmati semua ini. Ia menikmati penyampaian cinta pada Arga meski sia-sia.
“Babababa.”
Senyum Riana mengembang kala Alfa mulai mengoceh. Ia mencium pelan pipi bocah itu. Jika dilihat-lihat, Alfa memang mirip Maida.
“Alfa yang pinter, ya! Mama mau masak.”
Sembari menggendong Alfa, Riana melanjutkan pekerjaannya. Ia memang menolak ketika Arga menghadirkan pembantu. Lelaki itu hanya bersikap dingin dan menurutinya tanpa kata.
Selepas semua masakan matang, Riana makan sembari menyuapi Alfa. Ia merasa hatinya kembali hadir nyeri. Tidak dimungkiri, dalam sepi ia menginginkan cintanya dibalas dengan cinta. Jika tidak, dia hanya ingin diperlakukan selayaknya manusia oleh Arga. Sayangnya, hal itu hanya berlaku beberapa hari yang lalu. Kehadiran Maida benar-benar membekukan perjuangan Riana dan hangatnya sikap Arga.
“Selesai.” Alfa tersenyum ketika Riana membersihkan bibir bocah itu.
Rasa mual kembali hadir membuat Riana ke kamar mandi lagi. Semua makan yang sempat dia telan pun keluar tanpa sisa. Pening di kepalanya semakin menjadi.
Riana kembali sesaat selepas menyelesaikan hajatnya. Kembali dia gendong Alfa yang masih anteng. Namun, ketika ingat satu hal pikirannya bercabang.
Rasa gusar mewarnai hati Riana diam-diam. Hingga dengan berani dia membeli test pack dan mengecek kegundahannya. Lima belas menit berlalu, sembari menidurkan Alfa, Riana mengambil alat yang dicoba.
“Ya, Tuhan,” gumamnya sembari menggeser tangannya.
Rasa lemas menerpa badan tatkala dua garis terpampang. Bahagia mungkin berlaku hanya untuknya. Namun, bagi Arga ini adalah bencana bukan? Bencana ketika prosesi perceraian akan ditunda.
“Kenapa kamu jadi hadir yang mungkin akan terusir, Nak?” lirih Riana mengusap perut ratanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menyerah [TALAK AKU, MAS!] (18+) (Completed)
Chick-LitRiana tidak suka bercanda. Namun, takdir suka bercanda dengannya. Mulai dari jatuh cinta pada sepupu, diminta menjadi ibu sambung, menjelma istri seorang lelaki es, dan berakhir menjadi istri kedua. Ia hanya bisa pasrah ketika takdir begitu kejam me...