3. | Gugurkan

9.8K 742 43
                                    

Riana memeluk Alfa di dekapannya dengan erat. Selepas mengetahui garis dua, pikirannya masih gamang. Dia belum percaya. Walhasil, ia pergi ke rumah sakit dengan angkutan umum. Secara diam-diam.

Tiba di rumah sakit, Riana buru-buru ke dokter kandungan. Di sana penjelasan panjang kali lebar ia dapatkan. Salah satu penjelasan penting adalah kandungannya yang sedikit lemah hingga banyak larangan untuk dilakukan.

Riana mengangguk patuh. Sekitar satu jam di rumah sakit, akhirnya dia pulang masih dengan bimbang. Ia takut untuk jujur kepada Arga. Namun, sepertinya semua suami akan senang jika istrinya hamil. Akankah hal itu berlaku pada Arga? Riana tidak tahu itu. Kemungkinan buruk lebih mendominasi hatinya. Maka selepas mengembuskan napas dan turunnya tetes pertama air hujan, Riana memutuskan untuk menyembunyikan kehamilannya.

Dekapan Riana pada Alfa kembali ia rapatkan. Dia menatap Alfa yang diam dengan mata yang aktif bergerak ke kanan kiri. Rasa panas menjalar di mata Riana. Dia akan menjadi ibu? Sungguh, ini harapan yang ingin dia jadikan nyata. Hanya saja, bisakah semua menerimanya tanpa syarat?

Tidak tahu berapa lama pikiran Riana melayang-layang. Wanita itu menatap kosong jalanan dengan kendaraan yang berlalu-lalang. Saat suara petir terdengar nyaring, Riana nanap seketika. Ia mendekap Alfa yang diam tak bergerak.

Menebas dada perlahan, Riana memutuskan meminta pertolongan. Rasa pening dan takut mendominasi hingga tangannya bergerak secara naluri untuk menghubungi sebuah nomor. Jarinya terhenti ketika satu kalimat terngiang dalam kepala

"Jangan hubungi aku. Aku sedang dengan Maida. Jadi, jangan mengganggu!"

Perlahan tapi pasti, Riana mencari kontak lain yang bisa dihubungi. Arlan. Nama itu tertera dan sedang online. Buru-buru wanita itu menelepon.

"Ya, An?"

An adalah sebutan yang Arlan berikan untuk Riana. Besar dan bermain bersama membuat mereka akrab. Riana lupa entah mengapa tiba-tiba lelaki itu menetapkan 'An' sebagai nama panggilannya.

"Bisa jemput aku?"

Kesanggupan Arlan meluluhkan hati Riana. Jika saja Arlan adalah Arga maka tidak ada alasan lagi bagi Riana untuk menahan cintanya. Jika saja Arlan adalah Arga maka tidak ada alasan bagi Riana untuk membenci sekaligus mencinta di waktu yang sama. Namun, pengandaian tersebut tiada guna.

Beberapa menit Riana menunggu dengan rasa gundah, Arlan akhirnya datang. Lelaki jangkung itu menggunakan mobil hitam langsung keluar dan membawa payung untuknya.

"Maaf kalau lama." Arlan memamerkan senyum gulalinya pada Riana.

Dua lesung pipi tercetak membuat senyum Riana ikut terbit. "Tidak lama, kok. Santai saja."

Payung yang tadi Arlan pegang ia sodorkan pada kakak iparnya. Riana tersenyum, mengangguk, dan terkesima ketika lelaki itu mau membukakan pintu.

"Silakan masuk, Tuan Putri," goda lelaki itu hingga keduanya tertawa.

Riana mengenal Arlan dengan baik. Masa kecil yang dilewati bersama menjadikan wanita itu paham sifat sepupunya. Lelaki dengan kulit cokelat tersebut memiliki karakter ceria dan berbanding terbalik dengan Arga.

"Lama tidak berjumpa, Kakak."

"Hey! Apa-apaan? Sudah kubilang jangan panggil kakak, Lan!"

Lelaki itu menoleh sekilas sebelum memaksa agar pandangannya teralih. Ia sebenarnya ingin menatap Riana lebih lama. Ada sesuatu yang berbeda dari wajah itu. Arlan tidak bisa memastikan, tetapi ia menduga ada lara tersimpa dalam dua bola mata indah di sampingnya.

"Ya ya meski begitu penampilanmu membuatmu lebih dewasa sekarang, An."

"Dan kamu juga, Lan. Mirip om-om."

Menyerah [TALAK AKU, MAS!] (18+) (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang