"Tak perlu DNA," lirih Maida menatap mata Arga.
"Kau sudah tahu?" lanjut wanita itu mencerna ekspresi lelaki di hadapannya.
"Harusnya tak perlu kau tanya itu padaku!" Dingin Arga berucap.
"Dia memang bukan anakmu. Alfa bukan anakmu, Ga. Dia anak papamu—"
"Dan kamu berkata demikian selepas kita bersama, memadu kasih, bahkan meski aku suka rela menikahimu?!" Arga menatap Maida tak percaya.
"Aku cinta kamu—"
"Cinta itu menjaga, Mai! Kamu tahu caraku mencintaimu sepenuhnya. Ya ... sepenuhnya bodoh. Kamu tahu itu?" Arga menggeleng pelan.
Pukulan nasib membuatnya limbung dalam lubang luka dan tak percaya. Bagaimana bisa wanita yang ia idam-idamkan, yang ia jaga, menjadi manusia licik tanpa hati?
"Aku salah, Ga! Aku salah! Tapi jangan talak tiga aku. Aku ... siapa yang akan mau menerimaku jika aku tak lagi memiliki rahim?" Napas Maida memburu.
Wanita itu hendak bersujud di kaki Arga, tetapi Arga lebih dulu menahan pundak Maida. Lelaki itu menatap mata basah wanita yang dulu begitu ia cinta dan sekarang waktu membuka tabir penghianatannya.
"Tidak perlu bersujud, itu akan membuatmu semakin rendah."
"Tapi aku—"
"Kamu kenapa? Membodohiku? Iya! Menyakitiku? Iya! Dan aku sama sekali tidak menyangka kamu sejahat ini sama aku, Mai!"
"Dengarkan aku dulu—"
"Apa aku harus mendengarkan omong kosongmu lagi?" tanya Arga mulai emosi.
Maida menangis tak terima. Ia ingin meraih Arga tetapi Arga semakin menjauh darinya.
"Mas?"
"Sudah, Mai. Sudah. Aku tunggu tandatanganmu di surat perceraian kita nanti."
Arga meninggalkan Maida yang kini luruh di lantai. Lelaki itu pergi dan tidak menengok lagi. Hatinya hancur, persepsinya untuk menjaga wanita itu benar-benar sebuah kesalahan. Semua berakibat pada satu wanita yang benar-benar terluka. Riana Khaira Zulfa.
---HISNANAD---
Semangat hidup Riana memang tumbuh. Wanita itu sakitnya sedikit terobati karena tiap harinya melihat wajah-wajah ceria santri yang setiap hari ia ajar. Kandungannya pun dinyatakan baik. Meski, terkadang pikiran Riana tetap tertuju pada Arga.
Lelaki itu bagaimana kabarnya? Riana enggan tahu tetapi rindu. Susah rasanya dijabarkan. Apalagi kini kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh.
“Umah,” ujar Riana tergagap tatkala wanita paruh baya itu berkunjung ke kamarnya.
Sudah menjadi permintaan Riana agar ia bisa tidur dengan para pengurus santri lain. Ia tidak ingin tinggal di ndalem karena merasa sungkan terhadap abah juga umah. Apalagi dengan Gus Lana. Lelaki yang sedikit lebih dewasa dari usianya itu kerap kali membuat Riana gugup sehingga harus menjaga jarak.
“Kenapa Umah tidak memanggil Riana saja untuk ke ndalem? Kenapa Umah repot-repot ke sini?”
Wanita paruh baya itu menggeleng pelan. Diusapnya wanita yang kini terlihat mencoba baik baik saja. Namun, tubuh kurus itu tidak mampu menyembunyikan segala luka. Lantas, jatuhlah air mata yang sedari tadi ia tahan.
“Masih sakit?” tanya Umah membuat Riana menggeleng.
Tak sepenuhnya benar. Karena Riana memilih berbohong kali ini. Rasa pusing serta nyeri yang datang di perutnya hanya bisa Riana tahan tiap malamnya.
“Ndak Umah. Alhamdulillah. Riana baik-baik saja. Riana ... selalu baik-baik saja.”
Umah menggeleng. Wanita itu memeluk ibu hamil di depannya. Wajah pucat serta lingkar mata hitam Riana sudah menjadi bukti bahwa semua tak ada yang baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menyerah [TALAK AKU, MAS!] (18+) (Completed)
ChickLitRiana tidak suka bercanda. Namun, takdir suka bercanda dengannya. Mulai dari jatuh cinta pada sepupu, diminta menjadi ibu sambung, menjelma istri seorang lelaki es, dan berakhir menjadi istri kedua. Ia hanya bisa pasrah ketika takdir begitu kejam me...