16.| Tersingkap Setitik

4.7K 482 12
                                    

Dayu menahan emosi ketika mengetahui sang menantu tak ditemukan di mana-mana. Hatinya pedih menahan nyeri, entah apa yang dilakukan sang anak pada wanita manut tersebut, Dayu tak tahu lagi. Namun, melihat wajah lelah sang putra lewat panggilan video call, Dayu iba.

"Enggak ada, Ma!" Arga mendesah frustrasi sembari menarik rambutnya kuat.

Larut dalam pikiran, Dayu sampai tidak sadar jika Arga telah menutup panggilan. Lelaki itu melanjutkan perjalanan untuk pulang ke rumahnya saat jam menunjukkan pukul dua belas malam. Hujan datang bersama Arga yang memasuki kamar.

Sesal tiada terperi ketika masa di mana kesakitan, emosi, juga tekanan ia limpahkan pada sang istri. Riana. Dia wanita yang memang tak sengaja dan tak berniat menghancurkan rumah tangganya dengan Maida. Mengapa juga ketika Arga mulai membukakan setitik rasa pada Riana, Maida datang tanpa salam pembuka? Ah, sialan!

Sesampainya di kamar Arga menatap pantulannya di cermin. Rambutnya acak adut dengan penampilan persis orang gila. Lelaki itu ingin menghempaskan diri ke kasur, tetapi urung tatkala melihat sebuah amplop putih teronggok di atas nakas.

Di samping surat tersebut, terdapat fotonya yang tertutup. Arga mengernyit, rasa penasaran menyerang. Ia mengambil dan membuka selembar kertas dengan tulisan tangan familier di dalamnya.

Assalamu'alaikum, Mas Arga.

Melalui surat ini, Riana meminta maaf jika lancang meninggalkan rumah. Apalagi tanpa izin Mas Arga sebagai seorang suami. Sekali lagi maaf.

Riana pergi hanya untuk hidup tenang, Mas. Semenjak kedatangan Mbak Maida, setidaknya Riana tahu diri dan telah memprediksi yang kiranya akan terjadi.

Mungkin, jika masih ada Alfa, Riana masih bisa bertahan di rumah itu, Mas. Namun, perbaikan yang Mas Arga tawarkan tetaplah penunda luka yang sebenarnya. Tentang malam kemarin, aku ingin meminta maaf. Maaf karena telah merasai ragamu yang telah dipatenkan Mbak Maida. Kupikir hal itu adalah kesalahan besar bagiku juga tentunya.

Aku ... menyesal. Harusnya tak usah ada perbaikan apa-apa di antara kita, Mas. Kita usai. Aku menyerah. Dan sentuhan kemarin malam adalah salah.

Terima kasih. Lepaskan aku karena perjuanganku telah usai sebelum dimulai.

Wassalamualaikum.

Remasan di kertas tersebut menjadi bukti emosi Arga yang begitu membara. Hatinya teremas-remas. Ia seakan ingin Riana di sini, tetapi di satu sisi dia memikirkan Maida. Ya Tuhan, Arga menggeleng pelan seraya menenangkan napasnya yang memburu.

Ia tahu ... semua memang salahnya. Riana terluka dan memilih pergi itu hal yang wajar, harusnya. Namun, Arga tetap ingin wanita itu di sini.

Arga mengerang. Menyerah? Kata itu teramat sangat menyakitinya. Ia mulai tersadar juga berpikir. Mungkin ini adalah perasaan Riana ketika ia akan menceraikan wanita itu selepas nifas.

Subuh datang, Riana pun gegas ke masjid ketika kumandang azan terdengar. Ia menitikkan mata mendengar lantunan ayat yang menggetarkan hati. Sampai pada menengadahkan tangan untuk berdoa, wanita itu hanya bisa meredam tangisnya.

Umah, atau panggilan Ibu Nyai, wanita paruh baya di samping hanya bisa mengelus punggung Riana. Santri yang dulunya sangat ia sayangi seperti anak sendiri. Umah sengaja mengantar Riana ke kamarnya dengan begitu, beliau akan mencoba bertanya dari hati ke hati apa kiranya yang tengah terjadi di rumah tangga tersebut.

"Nduk?"

"Nggih?!"

"Kenapa?" tanya Umah lembut.

Riana belum membuka suara. Ia kadung sibuk meredam isak tangisnya.

"Minum dulu," ujar Umah meraih gelas di atas nakas.

"Umah," lirih Riana.

"Maafkan Riana ... Riana ingin pergi dari suami Riana, Umah. Awalnya, Riana hanya menunaikan keinginan Tante. Namun, ternyata tabir mulai terkuak, Umah.

Riana menikah dengan lelaki yang istrinya masih hidup. Istri yang dikira meninggal dalam kecelakaan mobil itu ... datang. Riana hamil saat semua permasalahan belum terselesaikan, Umah.

Maaf, Riana nggak kuat Umah. Riana belum memiliki hati sekuat wanita-wanita yang rela suaminya berbagi hati. Maaf."

Umah memeluk tubuh Riana. Dapat beliau rasakan tubuh ringkih itu bergetar hebat. Air matanya turun begitu saja mendengarkan pengaduan menyakitkan tadi. Tak munafik, bahwa wanita memang cenderung tak mau berbagi.

"Maaf, Umah. Maaf jika Riana salah—"

"Sssttt. Jangan meminta maaf, Nduk." Umah berkata lembut seraya mengusap air matanya yang mulai menggantung.

Sekejap dekapan Umah menenangkan hati Riana. Namun, wanita itu kembali didera gundah gulana. Ia merenggangkan pelukan seraya menatap sang Umah lekat.

"Umah ...."

Bisik-bisik itu disaksikan fajar yang mulai menyingsing. Umah baru keluar tatkala hatinya bisa dikuasai sedemikian rupa. Jejak-jejak luka lewat cerita Riana benar-benar menancap di hatinya. Wanita paruh baya itu pun menemui sang suami untuk mengurus semua ini. Meski pada akhirnya, di hadapan lelaki yang disebut "Abah" itu air mata Umah kembali mengalir deras tak berjeda.

---HISNANAD---

Bulan ketiga, Riana berada di pondok pesantren ini. Ia merasa senang karena Umah mengabulkan permintaannya untuk menjadikan wanita itu sebagai guru fikih. Senyum anak-anak usia delapan tahunan itu membawa haru biru dalam diri Riana.

"Nak, nanti jadi anak yang soleh/solehah ya. Kamu anak kuat." Riana berkata lirih sembari mengelus perut buncitnya.

Dari jarak jauh, Gus Lana tak sengaja melihat Riana yang anggun memakai khimar hitam. Lelaki itu memang berencana ke ndalem selepas mengajar santri putra. Jalanan ke ndalem melewati sebuah taman bermain untuk tpq. Pemandangan memanjakan itu cepat-cepat Gus Lana hilangkan dalam pikiran.

"Astagfirullah." Lelaki itu beristigfar seraya menundukkan pandangan.

Di ndalem, Umah tengah duduk bersama sang putrinya. Wanita paruh baya itu peka dengan putra sulungnya, bahwa Gus Lana memang seperti tertarik dengan Riana. Persis seperti apa yang dikatakan Abah tempo hari.

"Le? Umah mau bicara sebentar boleh? Berdua."

Mendengar itu, sang putri pun undur diri. Gus Lana duduk berseberangan.

"Nggih, Umah."

"Kamu boleh suka. Tapi, ingat dia masih punya suami."

"Maksudnya, Umah?" Gus Lana tak paham beberapa detik.

Umah hanya tersenyum meninggalkan putra sulungnya yang tersenyum menunduk. Ya muqalibal qulub tsabit qalbi 'ala dinik.

Lelaki berusia delapan belas tahun itu hanya beristigfar lagi. Mulai sekarang, ia tekadkan agar menjaga jarak dari wanita yang bernama Riana itu. Astagfirullah.

Di sisi lain, Arga benar-benar kehilangan jejak Riana. Ia bahkan sempat berseteru dengan sang adik perihal ini. Saat itu juga, ia tak sengaja mengatakan datangnya Maida. Alan benar-benar murka.

"Dia itu jalang perusak rumah kita!"

Kalimat Alan itu menancap di hati Arga. Ia menggeleng pelan tak mengerti maksud sang adik dan mamanya yang memang benar-benar membenci sang istri pertama. Arga pun teringat Maida, tetapi sebelum ia ingin bertanya tentang wanita itu, panggilan dari orang kepercayaannya membuat lelaki itu menaikkan sebelah alis.

"Bos ... tentang kecelakaan itu ... adalah sabotase dari Nyonya Dayu dan Tuan Alan?"

Arga menganga. Jadi ... kecelakaan Maida benar-benar ulah Alan dan mamanya? Kenapa mereka benar-benar seperti tak punya hati?

Menyerah [TALAK AKU, MAS!] (18+) (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang