Assalamualaikum, Ustadz 14

529 33 10
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Happy Reading!
.
.
.


Nada dering dari ponselku berbunyi. Dengan segera aku menghentikan aktivitas makanku dan mengambil benda itu dari dalam tas.

Nomor tidak dikenal muncul di layar ponsel ber-case abu-abu ini.

“Siapa, Sha?” tanya Salwa. 

Aku menggeleng. “Aku nggak tahu. Coba aku angkat dulu, ya.” Salwa mengangguk, dan dengan segera aku mengangkat telepon.


“Halo, maaf ini dengan siapa, ya?” seruku setelah telepon terhubung.

“...”

“Waalaikumsallam, iya, ada apa, Ustaz Aan?” Keningku berkerut mengetahui jika Ustaz Aan meneleponku. Tak biasanya Ikhwan itu meneleponku.

“...”

Hatiku bagai dihantam batu besar. Sesak itu kembali menyerang dada. Mataku memanas, dan perlahan mengeluarkan cairan bening. Ya Allah, apa lagi ini?

“...”

Mendengar suara Ustaz Aan aku tersadar dari lamunan.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Syukron, Ustaz, kabarnya,” jawabku dengan suara getar.

“...”

“Wa'alaikumsallam.” Sambungan telepon terputus. Tanganku yang tadi menempelkan ponsel kini jatuh melemas di atas meja.

Sesuatu menyentuh pundakku. “Ada apa, Sha?” tanya Salwa dengan lirih. Aku enggan untuk menoleh. Gelengan kepala aku berikan sebagai jawabannya.

Hatiku terasa sangat pilu setelah mendapat kabar dari Ustadz Aan. Ujian seperti apa lagi yang Allah berikan untukku. Aku takut.

Aku menopang kepalaku dengan kedua telapak tangan. Tangisku pecah. Aku benar-benar tak kuasa menahan tangis yang akan keluar.

“Ini buat bayar baksonya, ya, aku pulang dulu. Assalamu'alaikum.” Setelah meletakkan selembar uang lima puluhan di atas meja aku segera bergegas keluar dari warung bakso ini.

Salwa berteriak berulang kali memanggil namaku. Tapi aku tidak memedulikannya. Yang harus aku temui sekarang adalah Ayah.

***

Aku berjalan terburu-buru melewati koridor sepi ini. Air mata terus saja mengalir tanpa henti. Rampalan doa untuknya yang keluar dari bibirku sendari tadi juga tak berhenti.

Langkahku terhenti. “Assalamu'alaikum,” salamku yang kemudian membuat beberapa orang di depan ruangan ICU menoleh ke arahku.

Aku kembali berjalan lebih mendekati mereka semua. “Bagaimana keadaan Ayah, Bu?” Aku bertanya pada Ibu yang kini tengah duduk di kursi tunggu.

Assalamualaikum, UstadzTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang