بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Happy Reading!
.
.
.
Hatiku bagai ditikam belati lagi. Tuduhan itu benar-benar membuat dadaku terasa sesak. Aku menggeleng dengan air mata yang sudah mulai turun.
"Itu tidak benar," kataku mencoba membela diri. Kulihat Kak Marco tersenyum miring sembari bersedekap dada.
"Yang dikatakan Kak Marco tidak benar Ayah." Rahang tegas milik laki-laki di sampingku tampak mengeras. Wajah Ayah juga sedikit merah seperti menahan amarah.
"Silahkan dilihat buktinya, Ayah." Kak Marco memberikan ponselnya kepada Ayah.
Mataku membola melihat beberapa vidio di ponsel Kak Marco. Hal yang malam itu aku khawatirkan kini menjadi kenyataan.
"Malu-maluin orang tua." Air mataku terus mengalir membasahi pipi. Aku terus menggelengkan kepala sembari menatap Ayah yang terlihat begitu marah padaku.
"Ini salah paham Ayah. Shasa bisa jelaskan," kataku pada Ayah.
"Jadi lo nolak lamaran ini demi mempertahankan laki-laki itu 'kan?" Suara Kak Marco membuat aku mengalihkan pandangan kepadanya.
Kepala ini terus menggeleng. Entah kenapa lidahku terasa begitu kelu untuk membela diri.
"Salah paham apa? Kamu diantar pulang dengan laki-laki dan kemaren sore kamu mual? Sejak kapan kamu berhubungan dengan laki-laki itu?" sentak Ayah.
Semua orang bungkam, hanya ada suara bentakan Ayah dan isak tangisku. Di saat seperti ini tak yang aku harapkan untuk bisa membelaku. Aku hanya berharap Allah agar membuat hati Ayah tidak percaya dengan fitnah ini. Namun, aku rasa itu tidak mungkin. Kini Ayah tengah membaca lembaran kertas yang diberikan oleh Kak Marco. Sekali lagi, aku tidak tahu isi tulisan kertas itu.
Plak!
"Ah ...." Reflek aku mendesah karena tamparan yang begitu keras mendarat di pipi kiriku. Dan ini yang membuat dadaku terasa semakin begitu sesak. Untuk pertama kalinya seseorang yang dahulu selalu lemah lembut kepadaku, sekarang tampak tidak peduli dan kasar terhadap aku.
Aku pikir bukan seperti ini memperlakukan putrinya di depan orang lain. Walaupun tuduhan itu benar harusnya Ayah selesaikan secara kekeluargaan, bukan justru tambah mempermalukan diriku. Ralat, bukan hanya diriku, tapi juga Ayah.
"Shasa nggak hamil," teriakku. Aku tidak habis pikir kenapa Ibu ataupun Tante Rasti tidak menolongku. Setidaknya menenangkan diriku dan Ayah. Membantuku memberikan penjelasan kepada beliau.
"Oh, jadi Pak Handoyo menawarkan perempuan ini karena dia sudah hamil iya?" Kudengan Tante Rasti membuka suara. Sempat kulirik Tante Rasti, beliau berdiri sembari menunjukku.
"Keluarga tidak tahu malu," pekik Tante Rasti.
"Pak, Bu, saya mohon maaf sebesar-besarnya. Saya benar-benar tidak mengetahui semua ini," jelas Ayah.
"Saya juga tidak sudi menikah dengan wanita murahan seperti dia." Suara berat Ramdan terdengar begitu jelas di telinga. Semua orang mencaci serta menghina diriku, tanpa mau mendengar penjelasan terlebih dahulu.
"Shh ...," desahku.
Ada sesuatu yang hangat menembus jilbab dan mengenai kulit kepalaku. Aku yakin itu adalah teh yang aku buat beberapa menit yang lalu. Walau begitu, aku masih setia menunduk sembari menangis di antara Ayah dan Ibu tiri. Tak ada satu tangan pun yang menjulur untuk menguatkan diri ini. Terasa aku semakin membenci kehidupan ini. Kehidupan yang terasa begitu pahit setelah Bunda tiada.
Semuanya terasa hancur, termasuk hatiku. Aku tidak tahu lagi apa yang sedang Allah rencanakan sekarang. Takdir ini terasa begitu berat untuk aku jalani. Aku ingin menyerah untuk hidup. Aku lelah.
Ya Allah, apa yang sedang Engkau rencanakan? Kenapa takdirku seperti ini? batinku dengan air mata yang terus turun. Niqab-ku sudah basah karena air mata, tapi mata ini tak ada niatan untuk menghentikan kristal bening ini turun.
"Semua sudah jelas 'kan Ayah?" Kak Marco kembali bersuara setelah beberapa menit diam. Ini terasa begitu menyakitkan, kenapa dia tega menuduhku seperti itu.
Aku mengusap kasar air mataku. Kemudian aku berdiri, dengan berani aku berkata, "Demi Allah saya tidak hamil. Alhamdulillah saya masih terjaga. Semua tuduhan itu tidak benar. Dan sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Tahu."
"Shasa!"
Plak!
Satu tamparan kembali mendarat di pipiku. Lebih keras, terasa begitu panas. Aku kembali terduduk di sofa akibat Ayah yang begitu keras menampar wajahku.
"Halah nggak usah sok suci kamu," cecar Om Jordan yang semenjak tadi diam.
Aku melihat Ramdan berdiri. "Cewek munafik!" Setelah mengatakan itu, Ramdan pergi meninggalkan ruang tamu rumah ini.
"Saya nggak bohong, Tante. Tante sudah lihat buktinya bukan?" Tante Rasti mengangguk menyetujui perkataan Kak Marco.
"Makasih, Nak. Berkat kamu kami jadi tahu kebusukan anak serta Bapaknya. Untung saja dia menolak, kalo tidak cuma bisa malu-maluin keluarga kami," kata Om Jordan yang menohok hatiku.
Tante Rasti tertawa hambar. "Pantas saja memaksa anak saya untuk melamar wanita murahan ini." Tante Rasti berucap, membuat aku tidak percaya.
Jadi semua ini karena Ayah? Aku bertanya seorang diri.
"Kamu saya pecat. Saya tidak mau punya supir yang pembohong seperti kamu. Dan kembalikan semua yang sudah saya beri sewaktu lamaran kemarin!" Om Jordan membentak. Aku bergidik ngeri mendengar itu.
"Pak, jangan, Pak. Saya mohon, jangan pecat saya," kata Ayah memohon kepada Pak Jordan.
"Cukup saya yang menerima semua ini. Jangan pecat Ayah." Om Jordan menatap tajam. Buru-buru aku mengalihkan pandangan.
"Pah, ayo pulang." Tante Rasti menarik tangan suaminya untuk berdiri dari duduknya. Om Jordan berdiri. Namun, beliau bukan berjalan mengikuti istrinya. Melainkan mendekati Ayah.
Bugh!
"Ayah ...," pekikku.
Setelah mendaratkan pukulan cukup keras di perut Ayah. Om Jordan dan Tante Rasti keluar rumah tanpa mengucapkan apapun kepada kami.
"Jangan sentuh saya," tutur Ayah sembari menjauhkan tanganku.
Ibu mendorongku menjauh dari Ayah. "Dasar wanita murahan. Malu-maluin keluarga. Pergi kamu!"
"Selamat hancur hidup kamu," bisik seseorang tepat di telingaku.
Halo! Kasih tanggapan dong tentang cerita ini:((
Udah chapter 11 lho masih ada yang nggak komen dan vote.Ayo vote ya:)) karena vote adalah cara mengapresiasikan sebuah karya. Tinggal klik bintang enggak sampai lima menit wkwk.
Tunggu kelanjutannya yap .....
Revisi: 15 Desember 2003
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum, Ustadz
SpiritualitéDalam hidup ini kita hanya bisa berencana dan Allah yang mengatur segalanya. Yang selalu kita inginkan adalah hidup dengan damai dan selalu bahagia. Namun, Allah selalu berkehendak lain. Banyak luka dan air mata dalam kehidupan ini, bahkan banyak ha...