بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Happy Reading!
.
.
."Astaghfirullaah, afwan." Aku berjongkok dan mengambil novel-novel milik seseorang yang bertabrakan denganku. Akibat dari melamun, aku jadi tidak berjalan dengan hati-hati dan berakibat bertabrakan dengan orang lain. Setelah memunguti novel-novel yang jatuh itu aku kembali berdiri.
Gadis yang tadi bertabrakan dengan aku masih setia duduk di atas rumput sembari mengadu sakit. Aku pun segera mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. Tak menunggu lama, ia menerima uluran tangan dariku.
"Maaf, ya," ucapku setelah membantu dia berdiri.
"Maaf, juga," kata ia sembari menepuk-nepuk baju bagian belakangnya.
Aku mengangguk. "Sekali lagi aku minta maaf karena sudah membuat kamu jatuh."
Gadis di depanku sudah berhenti dari aktivitas menepuk baju bagian belakangnya yang kotor. Ia menatapku, kemudian menganggukkan kepala sembari tersenyum lebar. "Iya, enggak apa-apa, tadi juga salah aku karena jalan sambil baca novel, hehe ...."
Aku tersenyum mendengarnya. "Kamu ini, ya, kebiasaan. Oh ya, ini novel kamu." Aku berikan tiga novel yang jatuh tadi kepadanya.
"Terima kasih," ujarnya sambil mengambil alih novel dari tanganku. Detik berikutnya aku berkerut karena dia tiba-tiba memeluk erat tubuhku.
"Aku senang bisa punya sahabat sebaik kamu, Sha," katanya. Di balik niqab-ku aku tersenyum. "Makasih, ya, udah mau jadi sahabat aku yang nggak bisa diem, tapi cantik ini." Ia melanjutkan kalimatnya dan aku hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum lebar.
"Iya, aku juga bersyukur bisa bersahabat sama kamu Salwa. Udah dong, malu nih dilihatin."
Tak menunggu waktu lama, Salwa menjauhkan tubuhnya dariku. Setelah itu ia menatap sekeliling dengan gigi putihnya yang ia tampilkan. "Bukan tontonan gratis," ujar Salwa dengan ketus, seketika orang-orang yang tadinya melihat kami mengalihkan pandangan. Setelah itu Salwa mengacungkan kedua jempolnya padaku dengan senyum lebar di wajahnya.
"Dah yuk, masuk kelas. Hari ini dosen yang digantiin Pak Agus kemarin sudah masuk," ujarnya sambil menarik pergelangan tanganku untuk pergi, tapi aku menahannya.
Salwa berbalik badan, dan menatapku kembali. "Ha? Dosen baru, ya?" kataku sambil mengerutkan kening.
Salwa menggelengkan kepala. "Kamu ingat nggak? Waktu Pak Agus masuk kelas pertama kali, beliaukan bilang kalau cuma menggantikan sementara kita. Ah, aku bingung ngejelasinnya. Ya udahlah itu nggak penting sekarang yang penting kita masuk ke kelas. Karena nih, ya, banyak yang bilang bosen kita ini galak banget." Salwa begitu menggebu-gebu saat mengatakan kalimat terakhirnya.
Tak lama setelah itu Salwa kembali menarik tanganku. Aku pun hanya menurut, mengikuti langkah Salwa menuju kelas.
***
"Shasa!"
Suara teriakan dari luar kamar, membuat aku yang baru saja akan duduk di kursi mengurungkan niat. Kepalaku menoleh ke arah pintu kamar yang masih sedikit terbuka.
Suara teriakan itu kembali terdengar. Aku dengan cepat keluar kamar sembari berkata, "Iya, Bu, sebentar." Aku sedikit mengeraskan suara agar Ibu mendengar suaraku.
Aku melangkah terburu-buru ke arah sumber suara. Gamis yang aku kenakan sempat terinjak, beruntung aku tidak tersandung dan jatuh.
"Ada apa, Bu?" tuturku ketika sudah sampai didekat Ibu.
Kulihat Ibu memutar bola matanya sambil berdecak dan melipat kedua tangannya di depan dada.
"Ada yang nyariin di luar," jawab Ibu yang tengah duduk di sofa. Setelah itu Ibu mengambil majalah di atas meja dan mulai membacanya.
Keningku berkerut, tidak biasanya ada yang menemui aku di sore hari seperti ini. "Siapa?" gumamku sedikit bingung.
"Sudah temui saja. Jangan banyak tanya!" Ibu membentakku. Tanpa mengucapkan apapun aku melangkahkan kaki keluar rumah.
"Assalamualaikum, Ustaz." Aku mengucapkan salam lebih dahulu ketika melihat seorang laki-laki yang tengah sibuk memainkan ponselnya di kursi teras rumah.
"Waalaikumsalam, Dek Shasa," ujarnya lalu berdiri dari duduk.
Aku mengangguk dan segera menundukkan pandangan. "Duduk saja tak apa, Ustaz," kataku padanya.
"Terima kasih," balasnya singkat. Kulihat dirinya kembali duduk.
Aku pun menarik kursi yang tak jauh berada didekatku. Walau sudah dibatasi dengan meja di antara kursi yang di tempati laki-laki itu, tetapi aku merasa tidak nyaman bila terlalu dekat dengan laki-laki. Jadi aku menarik kursi lain yang kosong agar lebih menjauh lagi. Aku pun segera duduk dan menundukkan kepala. "Ada apa Ustaz Aan datang ke mari?" Aku bertanya padanya.
"Nanti, Dek Shasa ada acara tidak ba'da Isya?" Mendengar itu aku berpikir sejenak, lalu menggelengkan kepala.
"Syukurlah, hari ini Ustadzah Fina tak bisa datang mengisi kajian untuk ibu-ibu. Dek Shasa bisa gantikan?"
Aku menggigit bibir bawah. Aku ragu dengan tawaran Ustadz Aan. Walaupun aku sering mengajar mengaji dan mengisi kajian tetap saja aku merasa malu.
"Bantu saya, Dek. Saya sudah hubungi Tasya dan Aina tapi mereka tidak bisa." Ustaz Aan kembali berbicara, nada bicaranya terdengar sedikit memohon.
Aku berpikir sejenak dan mencoba untuk meyakinkan diri. "Baik, Ustaz ... nanti saya datang," ucapku dengan menganggukkan kepala.
"Syukron, Dek. Em ...." Ustaz Aan menjeda kalimatnya. "Kalau begitu saya pamit pulang, ya, salam untuk Ayah, ya."
Sambil menganggukkan kepala aku berujar, "Afwan, Ustaz. Insyaallah saya sampaikan kepada Ayah."
"Baik, assalamualaikum," ujar Ustadz Aan sebelum pergi.
"Waalaikumsallam, Ustaz."
.
.
.
Happy reading!
Jangan lupa vote & koment ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum, Ustadz
SpiritualDalam hidup ini kita hanya bisa berencana dan Allah yang mengatur segalanya. Yang selalu kita inginkan adalah hidup dengan damai dan selalu bahagia. Namun, Allah selalu berkehendak lain. Banyak luka dan air mata dalam kehidupan ini, bahkan banyak ha...