بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Happy Reading!
.
.
.Happy Reading!
Jangan lupa vote dan komenDi kursi tunggu depan ICU ini aku berada. Duduk seorang diri dengan mushaf di tanganku. Membaca ayat-ayat-Nya mampu membuat hati yang gelisah, galau menjadi tenang.
Aku tutup mushaf ini, kemudian pandanganku melihat ke sekeliling. Tampak sepi. Tante Hani dan suaminya pamit pulang dahulu semenjak satu jam yang lalu, sedangkan Ibu dan Kak Marco aku tidak tahu mereka pergi ke mana.
“Kuatkanlah hatiku ya Allah, sesungguhnya rencana-Mu jauh lebih indah,” gumamku menyemangati diri sendiri.
Pandanganku beralih menatap pintu ICU yang masih tertutup. Dokter dan perawat belum mengizinkan salah seorang dari kami menjenguk Ayah. Aku sudah rindu dengan wajah lelah beliau. Walau Ayah begitu berbeda dengan dulu, aku tetap menyayangi beliau tanpa kurang sedikit pun.
Nada dering telepon terdengar dari dalam tasku. Dengan segera aku mengambil benda pipih itu. Orang tidak dikenal lagi meneleponku.
“Siapa?” jawabku malas.
“Assalamualaikum, Sha. Gimana keadaan Ayah?” Mendengar suara dari seberang sana aku sedikit terkejut.
“Waalaikumsallam, Ustaz. Afwan tidak salam. Belum tahu, dokter belum mengizinkan menjenguk Ayah. Doakan yang terbaik untuk Ayah, Ustaz,” kataku sembari menatap pintu ICU. Aku sangat berharap ada seorang dokter atau perawat keluar dari dalam sana dan mengizinkan aku untuk bertemu Ayah.
“Aamiin ya Rabb. Maaf saya nggak bisa ikut menunggu Ayah, sedang ada urusan. Semoga semua selalu dalam lindungan Allah. Assalamu'alaikum.”
Aku tersenyum tipis. “Ustaz Aan, terima kasih banyak, ya. Semoga Allah membalas segala kebaikan, Ustaz. Wa'alaikumsallam.”
“Aamiin, syukron, Dek.” Setelah mendengar jawaban dari Ustaz Aan, aku segera mematikan sambungannya.
Mataku menatap ke arah ponsel. Senyum tipis terbit di wajahku. Walaupun kemarin Ibu pernah melukai hatinya ia tetap masih mau berbuat baik kepada keluargaku.
“Semoga Allah membalas kebaikan-kebaikanmu, Ustaz. Ustaz ... pantas mendapatkan seorang perempuan yang lebih baik dari aku,” ujarku sembari tersenyum.
Baru saja aku akan kembali meletakkan benda tipis ini ke dalam tas. Tapi lagi-lagi suara nada dering telepon berbunyi. Dengan segera aku melihat ke arah layar ponsel. Tanpa pikir panjang aku menggeser tombol hijau ke atas dan menempelkan ponsel di telinga.
“Assalamu'alaikum,” salamku lebih dahulu.
Seseorang di seberang telepon sana berteriak-teriak memanggil namaku. Dengan spontan aku menjauhkan ponsel dari telinga.“Tidak usah teriak, aku masih dengar, kok,” ujarku sembari menempelkan kembali ponsel ke telinga.
“Maaf, Sha. Shasa ke mana? Kenapa di rumah tidak ada? Kamu nggak apa-apa 'kan?” tanyanya dari seberang telepon.
“InsyaAllah aku baik-baik saja. Maaf ya mungkin akhir-akhir ini nanti aku sedikit sibuk.”
“Oh, iya, Sha, enggak apa-apa. Kalau butuh bantuan telepon aja Salwa. Jaga diri baik-baik, Sha. Salwa matikan teleponnya. Assalamu'alaikum, Kak,” ucap Salwa.
Aku tersenyum dari balik ke niqab, begitu bersyukur ketika masih ada orang-orang yang peduli terhadap aku.
“Waalaikumsallam, terima kasih, Salwa.”
“Sama-sama, Sha.”
Tut ....
Telepon terputus. Benda pipih ini aku jauhkan dari telinga. Kutatap sebentar layar ponsel ini sembari tersenyum tipis. Tak lama setelah itu aku memutuskan untuk memasukkan benda ini ke dalam tas.
Embusan napas panjang keluar dari bibirku. Punggungku, aku sandarkan pada kursi tunggu depan ICU. Mataku tertutup, sedangkan satu tanganku sibuk memijit pangkal hidung.
“Daripada kamu tidur, mending cari duit,” seru seseorang yang kemudian membuat aku membuka mata dan menatapnya.
Mata bengkak ini menatap damai ke arahnya. “Shasa mau nungguin Ayah, Bu,” jawabku.
Ibu tersenyum miring sembari bersedekap. “Lalu apa yang akan kamu gunakan untuk membayar biaya Ayahmu itu? Saya yang harus bayar?” Ibu menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuknya.
“Ayah kamu nggak pernah lebih berikan uang ke saya. Gajinya selama delapan tahun itu, selalu sebagian dikirimkan untukmu. Kamu pikir gaji Ayah kamu itu banyak, ya?”
Hatiku tertegun mendengar pernyataan dari ibu. Selama delapan tahun itu, Ayah memang selalu mengirimkan aku uang untuk mencukupi kehidupanku di pesantren.
“Jadi kamu sekarang yang harus menanggung biaya Ayah kamu selama di rumah sakit ini,” lanjut Ibu.
Aku berdiri dari dudukku. Kedua tanganku meraih tangan Ibu. Kemudian aku cium tangan beliau dengan tulus. Tapi belum lama aku menciumnya, Ibu menarik tangannya.
“Ibu kenapa sih benci sama Shasa. Shasa ini juga anak Ibu. Walau Shasa sudah dewasa, Shasa masih pengen mendapatkan kasih sayang dari orang tua.” Mataku mulai memanas, dan bisa aku rasakan ada cairan yang mulai keluar.
“Bagaimana pun juga Shasa tetap sayang Ibu. Kapan Ibu akan sayang sama Shasa?” Aku menatap Ibu yang kini juga tengah menatapku. Hanya ada tatapan benci darinya.
“Nggak usah drama,” jawab Ibu yang kemudian mengalihkan pandangannya.
“Shasa lunasi biaya Ayah dulu, Bu. Assalamu'alaikum.” Setelah mengucapkan salam aku segera berjalan menuju bagian administrasi.
Namun, baru beberapa langkah aku berjalan, Ibu menarik pergelangan tanganku dari belakang. Aku menghentikan langkah dan memutar tubuh menghadap Ibu. “Ada apa, Bu?” tanyaku.
“Dari mana kamu dapat uang?”
Aku menarik napas panjang dan membuangnya secara perlahan. “Uang yang dulu selalu Ayah kirimkan untuk Shasa. Shasa tidak pernah memakai uang itu sama sekali.”
“Berikan uangnya, biar saya yang bayar,” ujar Ibu sembari melepaskan cekalannya. “Cepat!” Ibu meninggikan suaranya.
Aku berpikir sejenak. Tapi tak lama kemudian aku mengambil kartu kredit simpanan uang kiriman Ayah dan memberikannya kepada Ibu. “Ini, Ibu.”
Ibu dengan cepat mengambil alih kartu kredit. Beliau mengamati sejenak kartu di tangannya itu. “Berapa saldonya?”
“Tiga puluh enam juta, Ibu,” jawabku apa adanya.
Ibu membulatkan mata serta mulutnya. Beliau terlihat begitu tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan. “Kamu bercanda, ya?”
Aku menggelengkan kepala. “Memang segitu, Bu. Setiap bulan dulu Ayah selalu mengirimkan uang lima ratus ribu untuk Shasa 'kan? Dan itu berlaku selama tiga tahun,” terangku dengan lembut.
Ibu menatapku sembari terdiam. Aku tidak tahu apa yang sedang ada dipikiran Ibu.
“Awas, ya, kamu bohong,” peringat Ibu yang kemudian aku beri anggukan kepala. Tanpa mengatakan apapun Ibu berlalu pergi meninggalkan aku.
“Ibu mau ke mana?” tanyaku sedikit meninggikan suara.
“Administrasi,” jawab Ibu singkat tanpa menghentikan langkahnya.
***
Bismillahirrahmanirrahim. Apa kabar, nih semua?😁
Maaf ya baru bisa update lagi. Sebetulnya semenjak bulan Juli itu sudah revisi naskah dan nabung beberapa part di word. Sudah mau aku update di wattpad. Tapi, qodarullah, ada drama naskah hilang karena nggak aku save as file-nya. Semenjak itu aku jadi kurang semangat lagi, hehe.Dan hari ini aku update lagi, vote dan komen dong, biar aku semangat lagi untuk nulis dan rajin update 🥰🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum, Ustadz
روحانياتDalam hidup ini kita hanya bisa berencana dan Allah yang mengatur segalanya. Yang selalu kita inginkan adalah hidup dengan damai dan selalu bahagia. Namun, Allah selalu berkehendak lain. Banyak luka dan air mata dalam kehidupan ini, bahkan banyak ha...