بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Happy Reading!
.
.
.Happy Reading!
Jangan lupa vote dan komen30 vote + 10 komen = segera update!
Setelah Ibu berlalu pergi untuk membayar biaya administrasi, aku memutuskan untuk kembali duduk pada kursi tungggu. Kepalaku menoleh kearah pintu ICU. Harap-harap cemas memenuhi rongga dada."Ayah ... sembuh, ya. Ayah, harus segera sadar," ujarku dengan lirih. Tanpa aku minta air mata perlahan kembali menetes. Aku segera menyeka air mata itu, dan menyemangati diri sendiri agar tetap kuat di dalam keadaan apa pun.
"Assalamualikum, Sayang." Salam dari suara lembut itu membuat aku dengan spontan menoleh ke arah sumber suara.
Aku kembali mengusap mataku. "Waalaikumsallam, Ummi," jawabku yang tak lama setelah itu berdiri dari duduk dan menyalami tangan Tante Hani. "Ummi, kok, cepat ke sininya. Ummi istirahat aja di rumah. Ummi datang kemari sendiri, ya?" Aku menengok ke belakang Tante Hani untuk mencari salah satu keluarga Tante Hani, tapi nyatanya tidak aku temukan siapapun.
Tante Hani mengelus lengan tanganku seraya mengukir senyum di wajahnya. Beliau menggeleng. "Tidak, Sayang. Ummi ke sini sama Sarah, dia tadi baru ke toilet sebentar. Oh, iya, ini Ummi bawakan masakana untuk kamu, kamu pasti belum makan 'kan?" tutur Tante Hani dengan suaranya yang begitu lembut.
"Terima kasih, Ummi. Shasa jadi ngrepotin Ummi." Aku merasa senang saat Tante Hani mengatakan jika ia datang bersama dengan Sarah. Aku sedikit tersenyum dari balik niqab.
"Assalamualaikum." Suara dari arah belakang Tante Hani itu membuat aku mengalihkan pandangan. Tante Hani pun ikut menoleh.
"Waalaikumsallam," jawab aku dan Tante Hani secara bersamaan.
"Sarah," panggilku sewaktu melihat Sarah. Sarah mendekati aku, kemudian ia memeluk aku dengan erat. Keningku berkerut saat merasakan tubuh Sarah bergetar.
Perlahan aku menjauhkan tubuh sarah---melepaskan pelukannya. "Sarah, kenapa kamu menangis?" tanyaku dengan sedikit berkaca-kaca.
Sarah mengusap air matanya sekilas. Tak berselang lama ia pun kembali memeluk aku. "Maafin aku, Sha. Ummi udah cerita tentang kamu ke aku. Sha, maafin aku. Maaf waktu itu udah maksa kamu untuk pulang diantar Mas Wisnu. Semua pasti nggak akan jadi kayak gini," ujar Sarah dengan sesenggukan. Kini aku mengerti alasan Sarah tiba-tiba menangis, air mataku pun ikut luruh dibuatnya. Namun, aku berusaha untuk menahannya agar tidak keluar lagi.
Punggung Sarah aku elus dengan lembut. Aku berushan menenangkan dirinya. "Sudahlah, Sarah itu bukan salah kamu, bukan juga salah Mas Fatih. Ini memanag sudah jadi jalan takdir hidup aku. Tapi kamu percaya 'kan, kalau aku tidak seperti yang mereka tuduhkan?"
"Enggak, kamu enggak mungkin melakukan hal menjijikkan itu. Kamu itu perempuan baik, kamu perempuan yang terjaga, memang ibu dan kakak tirimu saja yang membenci kamu. Dan mereka merendahkan harga diri kamu," terang Sarah.
"Sudah ... sudah, semua yang terjadi kita jadikan pelajaran, ya. Dan Ummi yakin, ko, kalau Shasa mampu melewati ini semua. Nah, sekarang kita makan bersama aja, ya. Kita makan di Kantin aja, ya?" tutur Tante Hani dengan bijak, kata-kata yang ia ucapkan selalu bisa menenangkan jiwa. Aku dan Sarah melepaskan pelukan kami dan menatap Tante Hani.
"Tap-"
"Apa kamu mau mendzalimi diri kamu sendiri dengan cara tidak makan seperti ini? Kamu harus makan dulu, biar kamu tetap sehat. Nanti kalau kamu ikutan sakit, siapa yang mau ngungguin Ayah?" Aku terdian mendengar perkataan Tante Hani itu, beliau benar. Aku pun memilih menganggukkan kepala sebagai tanda persetujuan.
Aku menoleh ke arah pintu ICU. Ayah, Shasa izin pergi ke kantin untuk makan sebentar ya.
"Ayo, Sha," kata Sarah sembari menarik pergelangan tanganku.
Aku kembali menghadap Sarah. "Iya, aku bilang sama Ibu dulu, ya. Biar Ibu cepat kembali ke sini." Setelah itu aku segera mengirimkan pesan kepada Ibu.
***
"Jadi kamu kemarin itu sedang proses lamaran, ya? Siapa yang datang melamar?" Sarah membuka obrolan lebih dahulu. Aku yang masih mengunyah makananku memilih untuk tidak mejawab pertanyaan darinya terlebih dahulu.
"Sar, sudah. Itu tidak perlu kamu tanyakan," ujar Tante Hani.
"Enggak apa-apa, kok, Ummi," sahutku. Aku pun menarik napas panjang sebelum memulai berbicara, kemudian aku hembuskan secara perlahan. "Dia ... orang yang dulu sewaktu SMP aku suka, Sar. Kamu pasti tahulah, dulu aku juga menginginkan dia datang melamar aku. Tapi, apa yang menurut kita baik belum tentu baik di sisi Allah."
Sarah tampak terkjut. "Si Ramdan itu? Kamu serius? Kamu nolak dia? Kenapa?" Beberapa pertanyaan itu Sarah lontarkan.
Aku pun mengangguk. "Iya, enggak. Aku tidak bisa menikah dengan laki-laki yang dengan mudah bersentuhan dengan wanita. Sarah, bagaimana perasaan kamu, ketika kamu mengetahui jika orang yang mengkhitbah kamu itu sedang menjalin hubungan dengan wanita lain? Apa kamu akan tetap menerima dia? Dia juga sudah membohongi aku perihal itu. aku merasa memang menolaknya itu jauh lebih baik. Insyaallah ini juga jawaban dari Allah," jelasku panjang. Sarah tampak terdiam mencerna ucapanku, dan aku memilih kembali untuk menyendok makanan.
"Iya juga sih kamu betul. Nggak nyangka aja, kalau dia itu orangnya begitu. Enggak sebaik yang aku kira," komentar Sarah.
"Hust ... Sarah, sudah-sudah tidak baik membicarakan orang. Sudah kita cukup ambil pelajaran dari semua yang sudah terjadi. Kasihan Shasa, nanti dia jadi bersedih lagi karena pertanyaan kamu. Ya kita berdoa aja, ya, semoga Shasa mendapatkan ganti yang lebih baik lagi." Tante Hani menengahi.
"Aamiin ya Rabbal'alamin," sahutku dan Sarah bersamaan. Setelah itu kami kembali fokus menghabiskan makanan masing-masing.
***
Halo! Apa kabar? Semoga senantiasa sehat dan dalam lindungan allah, ya. Aamiin yaa rabb.Dont forget vote and comment guys. Bisa tembus 30 vote + 10 comment aku segera update lagi.
Jangan lupa membaca Al-Qur'an 😉. Sudah hafalankah hari ini? Yuk kalau belum hafalan dulu, walau satu ayat. Semangat!
Salam hangat❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum, Ustadz
SpiritualDalam hidup ini kita hanya bisa berencana dan Allah yang mengatur segalanya. Yang selalu kita inginkan adalah hidup dengan damai dan selalu bahagia. Namun, Allah selalu berkehendak lain. Banyak luka dan air mata dalam kehidupan ini, bahkan banyak ha...