Si beruntung Lee Haechan. Desa itu walau jauh dari keramaian kota tak memiliki klinik dengan perlengkapan kedokteran dan juga obat-obatan yang cukup lengkap. Sudah lewat satu jam ia berbaring disana, nyeri punggungnya juga sudah mulai mereda karena obatnya telah kembali, juga beberapa suntikan vitamin dari dokter disana. Mark menungguinya, duduk di tepian jendela menatap keluar. Ia tahu apa yang tengah menyita perhatian Mark. Diluar sana di halaman klinik juga nampak dari mata Haechan, Jeno, kekasih pura-puranya, tengah duduk berdua dengan Jaemin. Tak lama setelah ia dan Mark tiba di klinik tersebut, Jeno dan Jaemin juga datang. Hanya berselang 20 menit saja. Tapi bukan untuk menjenguknya yang pasti, Jeno bahkan hanya berhenti di ambang pintu untuk menanyakan keadaannya. Katanya, Jaemin terluka. Bisa dilihat juga saat ini tangan Jaemin terlilit perban putih.
"Pergilah jika kau khawatir." Sebuah suara mengejutkan Mark. Refleks ia memutar tubuhnya dan mendapati Haechan sudah duduk di atas ranjang klinik.
"Tidak, aku akan menemanimu." Mark tersenyum.
Kejadian tadi sungguh diluar perkiraannya. Awalnya ia berniat mencari Jaemin, namun justru bertemu dengan Jeno yang mengatakan jika Jaemin pergi bersama Haechan mengambil air. Kedua kakak beradik tanpa ikatan darah itu lalu sepakat untuk menyusul. Tapi pemandangan mengejutkan justru menyambut mereka berdua. Haechan yang tengah terduduk di tanah, dengan Jaemin yang nampak akan mencelakainya. Ditambah ember dengan tumpahan air yang mendukung keadaan. Memicu amarah Mark.
Yang paling membuatnya merasa kecewa adalah obat milik Haechan yang berada pada Jaemin. Jika saja Jeno tak mengungkit soal obat, mungkin ia tak kan tahu jika isi dari kantong plastik putih yang sedari pagi Jaemin bawa itu bukan miliknya. Selama Mark mengenal Jaemin, pemuda itu bukanlah pemuda yang jahat menurutnya. Memang Jaemin adalah sosok keras, berpendirian kuat, dan ambisius. Tapi tak pernah seperti ini sebelumnya. Dan Mark, tak pernah menyangkanya.
"Dia kekasihmu. Kau baru saja memarahinya. Kau harus minta maaf."
Hati pemuda tampan itu menghangat. Penuturan Haechan barusan membuatnya semakin mengagumi sosok itu. Ia hampir saja di celakai tadi, tapi dia masih memikirkan orang yang berniat mencelakainya.
"Tak apa aku menemanimu saja." Keukeuh Mark.
Haechan tersenyum. Kini ia paham satu hal. Mark dan Jaemin memiliki satu kesamaan. Sama-sama keras kepala dengan pendiriannya. Mungkin itulah kenapa Jaemin tak ingin kehilangan Mark, dan berusaha menjauhkannya dari pemuda itu.
"Berbaikkanlah dulu dengan Jaemin, lalu kau bisa kembali kesini menemaniku.
Merasa tak memiliki alasan lagi akhirnya Mark bangkit, menuruti keinginan Haechan. "Baiklah, aku akan segera kembali."
Belum sempat kakinya melewati ambang pintu, suara Haechan kembali memasuki pendengarannya. "Katakan pada Jeno, aku mencarinya." Sudut bibir Mark mengendur, ia yang menolong Haechan tapi Jeno yang dicarinya. Dan dirinya justru di usir keluar secara tidak langsung.
"Kau mencariku?" Jeno memasuki ruangan. Haechan sudah duduk ditepi ranjang. Kakinya bergantung dan bergoyang lucu. Tak ayal membuat pemuda sipit itu tersenyum.
"Tidak juga. Aku hanya ingin Mark berbicara dengan Jaemin tanpa kau ganggu." Ucap Haechan.
"Memangnya aku mengganggu?"
"Kau selalu menggangguku, bisa saja kau juga mengganggu mereka."
Jeno duduk di kursi di depan Haechan. "Aku tidak melakukannya."
Hening.
Untuk sesaat Haechan bergulat dengan pikirannya sendiri. Jeno tahu itu. Orang seperti Haechan sangat mudah ditebak untuknya.
"Kau ingin mengatakan sesuatu?" Tanya Jeno.
"Jeno..." Haechan menghela nafas. "Sepertinya kita harus menghentikan permainanmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Be Love💕 (markhyuck x markchan)
FanfictionDisaat rasa dipaksa menguap oleh realita dan Realita yang memaksanya untuk memendam rasa... "Kurasa sia-sia, karena nyatanya hadirkupun tak dapat menggeser sedikit kuasanya dihatimu" Haechan "Kau berani pergi begitu saja? Setelah mengacaukan hatiku...