🌼12. AKHIR🌼

115 9 1
                                    

Sekarang, aku tau mengapa Bunda pada saat itu berbohong padaku, berbohong tentang pernikahan kami. Alasannya cuma satu, diriku. Bukankah dulu aku tidak terima jika aku menikah dengan om-om? Bayangkan saja, aku yang masih anak kecil harus menikah dengan orang yang tak ku kenal dan dia sudah tua, ya, walaupun belum 30 tahun.

Tapi, bukankah usia itu privasi? Setelah menikah dengan Kak Bima aku baru tau jika menanyakan usia kepada seseorang itu bukan ide yang bagus. Ada orang yang dengan senang hati menjabarkan usianya, ada juga yang menutup rapat dirinya.

Aku dan Kak Bima memiliki rumah yang dekat dengan Mama, sekitar 15 menit jika tidak macet kita akan sampai di tempat tujuan.

Rumah itu minimalis, bagian depan rumah itu terhampar rumput dan ada beberapa tanaman yang sengaja aku tanam di sana. Aku suka sekali hujan, apalagi jika hujan-hujanan tanpa ketahuan Kak Bima.

Semua keluargaku sangat senang sekali ketika aku sudah menemukan memori yang hilang. Laras yang aku kira akan sibuk dengan dunianya sendiri ternyata tidak, ia selalu membantuku.

Aku masih suka di tinggal Ayah dan Bunda. Tentu saja aku menantu tercinta Mama dan Papa.  Untung saja Laras tak buru-buru menikah seperti aku, bisa tergeser posisiku dari menantu tercinta mama. Bukankah sudah biasa jika anak laki-laki selalu di sayang?

"Lagi ngapain?"

"Eh? Enggak lagi ngapa–ngapain sih kak, emang knpa?"

"Buatin kakak kopi."

"Sekalian aku antar ke ruang kerja kakak?"

"Iya."

Aku yang sedang melamun langsung saja bergegas melaksanakan tugas dari sang pemilik rumah.

Sepi.

Hanya satu kata mewakili rumah ini, entahlah. Aku selalu berdoa agar ada orang lain yang berada dalam rumah ini, cepat atau lambat Tuhan pasti mengabulkan apa yang kami minta.

"Untung aja aku gak mual liat kopi ini, hembb," kataku sembari mencium aroma kopi.

Memang beberapa hari belakangan ini aku sering kali mual saat pagi, entah mengapa rasa mual itu tiba-tiba saja datang. Entah ketika aku sedang masak, membuat kopi untuk Kak Bima, atau menyapu. Tapi sekarang ketika aku membuat kopi sampai selesai, aku tidak merasa mual. Hanya saja tadi, ketika aku akan ke dapur.

Tunggu,

Aku merasa mual di pagi hari belakangan ini, aku merasa moodku naik turun nggak jelas, aku juga sudah tidak haid sejak–

"A-apa, iya. Ak-aku hamil?" ujarku dengan mata berkaca-kaca.

"Oke, mungkin iya, mungkin tidak. Sekarang Kak Bima sudah menunggu, lets go."

Ketika kaki ini menapak satu demi satu lantai yang ada di bawah kakiku, aku merasa tak bertenaga tapi aku harus, belum tentu aku hamil. Ayolah,

"Kak Bimm." Aku mengetuk pintu kerja Kak Bima yang terhubung dengan kamar kami.

"K-kakk," panggilku dengan suara serak. Aku sudah tak tahan untuk menumpahkan air hitam dalam yang berada di tanganku, begitu pula air kristal yang membawa kesejukan yang berada dalam mataku.

Cklek

"Kenapa–kamu kenapa Na?"

"I-ini kopinya," aku menyerahkan kopi itu dengan gemetar ke tangan Kak Bima. Di menerima itu dengan cepat dan menaruhnya ke sembarang tempat.

Tangan Kak Bima begitu cekatan untuk menolongku, ia langsung membopongku ke arah kasur kami.

"Kamu kenapa?" tanya Kak Bima. Ia juga menyentuh keningku, memeriksa pipiku juga.

"Ambilin, hikss. Di laci paling bawah kak, hiksd." Entah sejak kapan air bening  ini keluar dari mataku.

"Ini" Ia menyerahkan itu padaku dan aku mengambilnya.

"Kamar mandi Kak," ujarku dengan menahan tangis yang  siap meledak kapan saja.

Kak Bima menggendongku ke kamar mandi, ia menunggu di luar. Aku sama sekali tidak bisa berjalan karena kaki yang sepertinya mati rasa.

Aku mencoba alat itu, lalu tangisku pecah di dalam kamar mandi.

"Kenapa Na, kenapa? Kaka di sini, jangan takut."

"Huaaaa, kak Bim, a-akuuu. Hikd." Aku yang tak mampu untuk bicara lebih, memberikan bendaa yang sebesar  jari tangaku kepada Kak Bima.

Dia melihat itu, lalu beralih melihatku yang sedang sesegukan.

Aku melihat wajahnya dari mataku yang mukai buram oleh derai air mata, dia terlihat bingung. Dia melihatku lalu ke benda itu lalu ke arah ku, sampai pada akhirnya aku berani mendekatinya dan memeluk lehernya.

"K-kak Bima jawabb, huhuhuhu. Ayoo kakkk," kataku dengan merengek di saat tangis seperti ini.

"K-kamu beneran? Ini nggak prankkan?" Suara Kak Bima juga sama gemetarnya dengan aku. Sama-sama belum percaya.

"Enggak kakk, huaaa"

"Makasih sayang, makasih," kata Kak Bima. Dia melepas pelukanku dan mencium seluruh wajahku.

🌑🌑🌑🌑🌑

"Ayo, sayang," ajak

"Yuk, Mama udah datang?" tanyaku.

"Kata Mama, dia langsung ke rumah sakit"

"Ohh, yaudah ayok."

Mobil kami meninggalkan rumah minimalis menuju ke rumah sakit. Setelah isak haru di kamar mandi aku menghubungi Bunda dan Mama, mereka mengatakan  hal yang sama padaku “kamu harus ke rumah sakit sekarang, usia kandungan kamu masih rentang sayang. Buruan bilangin sama Kak Bima ya”

Dan di sini lah kami sekarang, rumah sakit. Rumah yang satu ini mengingatkanku ketika aku terbangun dari kecelakaan itu. Cemburu, hanya karena itu aku meninggalkan rumah dengan mengendarai mobil hingga akhirnya aku di Rumah sakit, rumah ke-2 untukku.

Kak Bima begitu sabar dan telaten terhadapku ketika aku sakit, dia begitu berjuang untuk kesembuhan ku. Setelah kejadian itu aku tak berani meninggalkan rumah dengan keadaan marah ataupun rasa kecewa.

Sepulang dari rumah sakit aku menonton tv  sembari makan buah, untung saja buah di rumah masih ada.

"Ini Bumil, diminum ya tehnya." kata Kak Bima, seketika aku menoleh padanya. Dia meletakkan teh itu di depanku dan duduk di sebelahku.

"Makasih pak," kataku menirukan suara anak kecil.

"Sama-sama."

Cup

Dia mencium keningku sekilas dan tidur di sofa berbantalkan kakiku.

"Lelah ya pak?" tanyaku.

"Enggak, hari ini Kakak nggak kerja."

"Kenapa?" tanyaku dengan mengelus rambutnya.

"Kakak masih belum percaya, di sini." Dia mengelus perut rataku. "Ada orang selain kita. Kira-kira dia laki-laki atau perempuan?"

"Besok di USG aja Kak, biar tau laki-laki atau perempuan."

"Kayaknya nggak usah, biar dia jadi surprise buat kita,"

Kita saling pandang dan aku tersenyum lalu mengangguk.

"Nggak perlu warna pink atau biru yang penting dia sama kamu selamat."

"Iya kak."  Aku tersenyum

Kak Bima bangkit dan memelukku, menenggelamkan kepalaku dalam hangatnya pelukan. Pelukan yang selama ini aku dambakan dari ke dua orang tuaku, tak apa aku tak bisa memeluk mereka setidaknya sudah ada orang yang bersedia memelukku saat ini. Bukan berarti aku tak ingin memeluk kedua orang tuaku, aku sangat ingin memeluknya, bahkan dari jauh sekalipun.

ALANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang