🌼4.KAK BIMA🌼

191 20 0
                                    

Saat  bangun tidur ternyata hari sudah sore dan sekarang  aku sedang mengobrol dengan Mama. Ayah dan Bima sedang berdiskusi untuk perusaahan di kafe dekat rumah sakit.

"Bunda kamu belum kesini?" tanya Mama, sambil memandangku.

"Belum Ma, mungkin Ayah banyak pekerjaan makanya nggak sempet nemenin aku." Aku bahkan tak mendengar suaranya setelah hari itu, apakah mereka ke negara lain disaat aku di rumah sakit? Tidak mungkin, Bunda selalu bersamaku ketika sakit, bahkan dia rela tidak menemani Ayah bekerja.

"Bukan nggak sempet, tapi nggak dibolehin sama suami kamu itu."

Perkataan Mama membuatku kaget "Ha?" Apa Bima nggak suka sama Ayah dan Bunda? Sebelum aku melanjutkan pertanyaanku, Mama sudah melanjutkan ceritanya.

"Kata Bima, dia aja yang jagain kamu, kami para orang tua nggak usah. Katanya, nyusahin kami, padahal kalo kita yang jagain, kamu kan punya temen ngobrol, yaudahlah  ya, ngak papa, terus kaki kamu gimana?" Sepertinya Mama mengalihkan topik pembicaraan.

"Udah mendingan Ma, udah bisa jalan walupun satu langkah aja."

"Bagus itu, besok latihan jalan lagi sama Bima."

"Iya Ma."

"Kamu belum inget kita?" Sepertinya Mama sangat antusias kalau ingatanku sudah kembali lagi.

"Belum Ma, maaf ya Ma, aku gak bisa inget kalian." Aku pernah mencoba untuk mengingat tentang kepingan kepingan masa lalu, tapi hanya sakit kepala yang kurasakan, mungkin jika aku berada di rumah Mama akan sedikit mengingat  tentang masa laluku, semoga saja bisa.

"Nggak papa, nanti kamu juga akan inget sendiri, amnesia yang kamu alami ini cuma sementara, jadi nggak usah buru buru untuk mencari ingatan kehidupan masa lalu yang kamu lupakan itu." Perkataan itu  membuatku bersemangat untuk mencari kepingan kepingan masa laluku.

"Bima kenapa nggak bilang, kalo Amnesia ku itu cuma sementara Ma?" Bima itu aneh, kenapa dia tidak mengatakan hal sekecil ini, apa dia tidak mau aku mengingat tentang hubungan kita di masa lalu?

"Kamu manggil suamimu itu dengan nama?" Sepertinya  Mama marah, untung saja suara kami tidak terlalu keras, bisa bisa Mama diusir dari ruang rawat inapku karena mengganggu pasien yang lain.

"I-iya Ma, memang kenapa?" Bima tidak mempermasalahkan soal nama panggilan, tapi kenapa Mama begitu marah ketika  dia melihatku memanggil anaknya dengan nama tanpa panggilan yang spesial?

"Astaga menantu kesayanganku, gini loh nak, kalo kita manggil suami dengan sebutan sayang itu untuk memfasilitasi ikatan hubungan yang lebih erat, serta untuk merawatnya lebih baik." Wejangan Mama bermanfaat sekali untukku.

"Memang dulu aku manggil Bima dengan sebutan 'sayang' ya Ma? Terus Bima manggil aku dengan sebutan apa Ma?" tanyaku dengan bersemangat.

"Kamu dulu manggil Bima dengan sebutan 'Kak' kalok Bima manggil kamu 'dek' jadi kaya kakak adek, walaupun kalian sudah jadi suami istri. Usia kalian juga terpaut lima tahun."

"Lima tahun Ma?" Aku mengangkat ke lima jarri tangan kananku.

"Iya, enggak terlalu jauh kan?" kata Mama sambil membuka ponsel.

"Iya sih Ma, tapi apa aku harus manggil Bima dengan sebutan 'Kak' nanti kalo dia bingung gimana Ma?" tanyaku pada Mama yang memasukkan ponsel kedalam tas.

"Dicoba aja dulu, kan kamu belum tau reaksi Bima gimana, siapa tau ingatakan kamu kembali  secara perlahan dengan perlakuan kecil kamu terhadap Bima."

"Iya Ma, nanti aku coba."

"Papa sama Bima bentar lagi kesini, nggak papakan kamu berdua sama Bima? Nanti tau tau dokter kesini liat kalian mesra mesraan terus nggak jadi meriksa kamu." Perkataan Mama membuat pipiku bersemu merah.

ALANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang