🌼8.RUMAH SAKIT🌼

172 15 19
                                    

Hari ini, aku pergi ke rumah sakit untuk memastikan bahwa kakiku sudah baik-baik saja, Kak Bima yang baru masuk kantor kemarin, libur lagi hari ini untuk mengantarku. Mobil kami meninggalkan rumah berbaur dengan kendaraan lainnya yang tak kalah besar dan mewah, lampu merah berhasil kami lewati, gerbang minimalis rumah sakit kami lalui. Kami tiba di parkiran rumah sakit, menggandeng tangan satu sama lain untuk saling menguatkan, rasanya jantung berdebar-debar, akupun meremas tangan Kak Bima yang sedang ku gandeng untuk menghilangkan rasa gugup ini.

"Rileks aja Na, jangan takut." Dengan tersenyum, Kak Bima melihatku dan membalas remasan tangaku menjadi elusan yang lembut.

"Aku nggak takut ya, Kak." Aku memalingkan wajah, Kak Bima tau saja kalau aku gugup.

"Iya, nggak takut tapi gugup?" Sambil berjalan kami berbicara satu sama lain, tapi pembahasan seperti ini membuatku terpojokkan, akan fakta yang keluar dari mulut Kak Bima.

"Enggak kok." Aku menjawab dengan cepat dan tepat.

"Enggak salah." Dia berkata seperti itu dengan nada bass-nya, membuatku makin suka saja, ahh maksudku, suka suarannya.

"Iss! Sebel deh!" Aku melepas tautan tangan, aku yang sedang PMS memukulnya dan berhasil, lengan kanannya mendapat dua kali pukulan dari kedua tanganku.

"Aiss! Sakit Na, jangan ngambek, kamu, kan istri Kakak." Kami berhenti di lorong yang sepi untuk meredam emosiku.

"Maaf Kak, gara-gara aku, tangan Kak jadi sakit." Aku menunduk, menghindari tatapan Kak Bima.

Kak Bima memegang kedua bahuku dan mengusap usap menenangkan, aku pun melihat ke dalam matanya, mata yang membuatku tak berpaling dari apapun, "Lengan Kakak nggak sakit Na." Lalu tiba-tiba, dia mengecupi wajahku, berkali-kali hingga aku merasa geli.

"Hahaha, udah Kak, geli tau, hahaha."

"Nah, gitu ketawa, dari bangun pagi cemberut terus."

"Namanya juga PMS Kak."

"Kamu PMS?" Kak Bima terlihat kaget ketika aku berkata seperti itu, ada apa sebenernya?

"Iya."

"Arggggg." Jarak Kak Bima yang dekat denganku seketika renggang, Kak Bima menjauh dan menjabak rambutnya sendiri.

"Kenapa Kak?" Dengan polosnya, aku berjalan mendekati dia dan bertanya dengan nada suara yang tidak mempunyai beban.

"Enggak, ayo keburu telat nanti." Kak Bima menarik dan menggandengku untuk berjalan lagi.

Saat kita menyusuri lorong rumah sakit yang panjang, sepertinya  lorong ini tak berujung, aku kembali memikirkan kata-kata tadi. Apa mungkin, Kak Bima belum mendapat haknya sebagai suami kurasa, iya.

Aku merasa bersalah padanya, semoga saja aku masih menjadi menantu kesayangan Mama dan Papa, dan juga masih istri sah dari seorang laki-laki bernama, Bima Lesmana.

Saat kami tiba di dekat pintu  bertuliskan dokter Indra, aku dan Kak Bima duduk di kursi tunggu yang telah disediakan, pikiranku masih terbayang-bayang betapa frustasi Kak Bima, tak mendapatkan haknya dan aku sebagai istri yang kurang memberikan perhatian kepada suamiku.

"Kak, kita antrian nomer berapa?" Aku mengusir pikiran negatif, yang semakin merajalela dengan bertanya pada Kak Bima, ini sangat efektif untuk menenangkan ku walaupun itu sesaat.

"Kakak cek tadi, antrian pertama."

"Tapi kog, belum di panggil panggil ya?"

Kak Bima hanya mengangkat kedua bahu dan menurunkannya kembali, aku mengamati sekitar, banyak pasien yang sudah menunggu, tapi dokter-dokter itu sepertinya belum kesini. Pikiranku kacau sekarang, aku merasa jantungku berdetak lebih kencang, hanya karena kembali ke rumah sakit ini, bukan karena Kak Bima, melainkan aku takut jika terjadi sesuatu dengan kakiku.

ALANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang