🌼3.MAMA MERTUA?🌼

230 22 4
                                    

"Sekarang kamu tidur ya," katanya, sambil menarik selimut hingga dadaku. Mengapa dia tau, jika aku suka sekali tidur dengan selimut menutup sampai dadaku? Aku bahkan tak pernah mengatakan kesukaanku padanya.

Bima pergi ke sofa yang berada di sebrang ranjang kasur rumah sakit, dia sedang memangku laptop, mungkin sedang bekerja? Aku menengok ke jendela  yang berada di sebelah kiri tempat tidur, siang ini cuacanya mendung dengan rintik rintik gerimis, pantas saja rambut Bima sedikit basah, begitupula bajunya.

Bima tadi pergi ke kantor, itu yang menyebabkan baju dan rambutnya basah. Aku disini bersama Laras, kami banyak bercerita dan bercanda bersama. Dia tadi menceritakan awal mula  bertemunya aku dengan Bima, diawal pernikahan kami, Laras bilang aku terlalu agresif dan manja, tapi Bima hanya kalem menanggapi diriku.

Aku tidak percaya mengenai cerita Laras, menurutku Bima itu terlalu posesif, emosian, dan tidak kalem, tidak seperti cerita Laras. Waktu pertama kali melihat Bima, aku merasa tidak asing lagi dengan wajahnya, bahkan ketika dia mencium keningku, aku merasa nyaman, sesuatu yang terasa hilang sudah kembali.

Aku merasa punya tempat untuk berlindung, tempat ternyaman setelah dekapan Bunda dan Ayah. Aku senang berada disekitar Bima, padahal aku belum terlalu terbuka padanya, tapi sepertinya dia sudah tau tabiatku.

Aku jadi teringat kata Bunda dan Ayah, mereka bilang, aku sudah menikah dan hampir satu tahun umur pernikahan kami, tapi kenapa aku belum punya anak? Bukankah setiap pasangan ingin punya anak? Apa dulu aku tidak pernah melayani suamiku dan terlalu sibuk dengan duniaku sendiri, hingga aku tak tersentuh sama sekali oleh suamiku sendiri? Istri macam apa aku ini?

"Hey, kamu kenapa?" Aku menoleh kearah suara, Bima berdiri di samping ranjang, tanganya mengusap usap lembut rambutku.

"Memang aku kenapa?"

"Kamu nangis?" Dia menghapus air mataku, aku tak tau sejak kapan air mata ini menetes, membasahi pipiku dan semakin lama semakin deras.

"Na, kamu kenapa nangis?"

"A-aku ng-nggak, bisa jad-jadi hikss ... istri ...yang baik buat hiks ... kamu hikss ... hiks."

"Kamu itu ngomong apa? Kamu itu udah jadi istri yang baik buat aku, kamu bangun dari tidur yang panjang aja aku udah seneng," kata Bima, sambil memelukku.

"Hiks....."

"Kamu tenang dulu, nanti kamu ceirita lagi."

Dan saat itu juga aku tak bisa membendung air mataku lagi, baju yang dipakai Bima sampai basah, tangisanku sangat lama dan itu pasti membuat Bima capek berdiri.

Setelah tangisku reda, aku melepaskan pelukan Bima dan menggeser tubuhku, aku menepuk kasur mengisyaratkan Bima untuk duduk di sana, kasur di sini memang sangat besar dan muat untuk dua orang.

Bima duduk di sebelahku, tanpa kata dia membawa tubuhku kedalam pelukannya dan berbaring di ranjang rumah sakit ini.

"Aku mau cerita," kataku, untuk memulai pembicaraan.

"Apa?" tanyanya, sambil mengusap usap rambut kepalaku.

"Kata Bunda kita udah hampir satu tahun menikah, terus kenapa kita belum punya anak? Aku nggak ngelayanin kamu waktu itu, iya kan?" Mata ini kembali memanas air mata ini kembali jatuh.

"Siapa yang bilang begitu hemb? Kamu malah udah jago." Bima nggak bohong kan?

"Ishh, jangan bercanda dong," kataku, sambil memukul dadanya.

"Hahahaha... Em, jadi kita belum punya anak, karena kemauan aku sendiri, kamu masih kelas tiga SMA. Dan kalo soal melayani yang itu, nggak usah di tanya lagi, kamu itu sempurna." kata Bima, sambil menyolek pipiku.

ALANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang