🌼13.EPILOG🌼

103 7 0
                                    

Waktu terus berputar, ia tak bisa mengembalikan masa lalu tapi bisa membuat masa depan. Di usiaku yang masih muda aku tak percaya bahwa aku akan memiliki anak kecil, tinggal beberapa bulan lagi dan anak kecil itu akan menghirup udara yang sama denganku. Aku yang masih anak kecil punya anak kecil, hah. Orang lain pasti akan tertawa bahkan memandang sebelah mata  tentang statusku ini. Tak mengapa, hitung-hitung ini menjadi bahan lelucon mereka yang tak pernah tertawa.

"Pak, ada bawang merah nggak?" tanyaku pada pedagang sayur yang berkeliling kompleks ini.

"Ada mbak, mau berapa?"

Belum sempat aku menjawab, ada suara lain yang membuatku dan bapak sayur ini menoleh.

"Tumben dek, belanja di sini."

Dia Bu Lilis, umurnya kira kira tiga puluhan lebih tua dariku dan juga Kak Bima. Setiap kali ada tukang sayur bapak ini pasti kita bisa menjumpainya setiap saat, bisa di bilang dia pelanggan tetap di sini.

"Iya, pengen aja sih sebenernya bu," jawabku pada Bu Lilis.

"Yang Setengah kilo ada nggak pak?" Sambungku pada bapak pedagang sayur ini.

"Ada mbak, sama apa lagi?" tanyanya sembari memasukkan bawang merah ke kantong kresek warna putih. Daripada menggunakan warna hitam untuk membungkus makanan lebih baik warna putih. Aku dengan bapak sayur ini satu frekuensi ternyata.

"Udah itu aja,pak. Berapa pak?" tanyaku dengan tangan yang merogoh kantong uang.

"Dua puluh ribu mbak" Katanya.

"Ini pak" Jawabku dengan tangan yang mengulurkan sejumlah uang kepadanya.

"Belanjanya cuma itu aja dek?" tanya Bu Lilis, ia sedang memilih sayur-sayuran di gerobak sederhana bapak ini, aku tak tau namanya siapa jadi mari kita panggil dia bapak sayur.

" Iya, duluan ya, buk." Sebenarnya aku pengen beli lebih banyak lagi tapi karena Bu Lilis membuatku belanja satu barang saja. Jika aku membeli banyak di sini maka Bu Lilis, akan bercerita panjang lebar membuatku tertahan disini.

"Iya, dek." Bu Lilis ini memang tetangga yang punya banyak informasi, jadi tak heran jika dia berlama-lama di sini.

"Mari pak," pamitku pada Bapak sayur.

"Iya, mbak." Dia juga membalasnya dengan anggukan.

Aku pergi dengan sekantong plastik bawang merah. Bapak sayur tadi memang setiap hari mangkal di sana, di pinggir jalan yang teduh, tidak jauh juga dengan tempat tinggal ku.

"Permisiiii" Ucapku di depan pintu yang tertutup.

Cklek

"Di rumah sendiri nggak usah teriak-teriak." Kak Bima muncul di depanku dengan celana pendek dan kaos hitam putih.

"Hihihi, kirain nggak ada orang makanya teriak biar yang punya rumah tau kalau ada tamu yang mau masuk," jelasku.

"Alesan aja, sana masuk." Dia memberiku jalan dan aku pun mematuhi perintahnya.

"Iya tuan"

Aku menaruh bawang tadi di tempat seperti biasa, ia bersama bawang putih dan bumbu dapur lainnya.

Aku menegakkan tubuhku setelah merapikan bumbu dapur, tapi sepasang lengan berat nan kekar ini mengurungkan niatku untuk berjalan begitu saja.

"Ngapain?" tanyaku.

"Kangen." Bukannya melepaskan ia malah menyimpan kepalanya di leherku, padahal tinggi tubuh kita sangat berbeda jauh.

"Sama siapa?" tanyaku pemasaran.

ALANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang