PROLOG

826 37 5
                                    

"Alana."

Seperti ada yang memanggil namaku, tapi siapa yang ada di sini? Hanya ada warna putih, hingga aku berlari mencari jalan pintu untuk ku pulang.

"Alana, kumohon sadarlah, kamu sudah berhari-hari tidak bangun, kamu tidak kangen dipeluk Kakak, hemmm?" Selama aku berlari mencari pintu keluar, aku hanya mendengar suara itu.

"Aku mencintaimu."

Saat itu juga aku seperti terdorong keluar dari lubang  putih ini.

"Alana." Suara ini di dunia nyata, bukan di dunia putih seperti tadi.

Cup

Seseorang  mencium dahi ku sangat lama, ternyata dia. Seorang pria yang tidak ku kenal, siapa namanya?

"K–kamu s-sia–pa?" Kenapa suara begitu lemah dan serak? Tenggorokanku sakit sekali.

"Tenang ya, Alana sebentar lagi dokter datang."

Cklek.

Benar, tak lama dokter datang dengan suster.

Pintu kamar ini terbuka, kami sama sama menoleh. Aku baru menyadari ini kamar inap rumah sakit, bukan kamarku. Dokter itu berjalan ke arahku, pria tadi melemparkan senyumnya padaku dan mundur memberi ruang kepada dokter untuk memeriksaku.

"Sus, tolong jaga pasien dulu, saya ingin berbicara dengan keluarga pasien," ucap dokter  setelah memeriksaku.

Dokter itu membawa pria tersebut untuk diajak ke ruang kerjanya, mungkin? Aku tidak tau, mengapa rasanya badan ini sakit dan tidak bisa digerakkan sama sekali?

"Sebaiknya Mbak istirahat dulu ya," ucap suster tersebut dan akupun menurutinya.

⚫⚫⚫⚫⚫

Aku tak tau berapa lama aku tidur, yang kulihat ketika terbangun lagi- lagi kamar putih yang aku pandang. Hanya ada suster, dia yang mengambilkanku minum dan membantuku bangun untuk bersender.

"Mbak beruntung ya."

"Hm." Hanya itu suara yang kukeluarkan, suaraku rasanya hilang entah kemana.

"Iya, beruntung dapet suami yang baik dan setia nungguin mbaknya,"  kata susuter itu dan duduk di ujung tempat tidur ini.

"Waktu itu, Masnya dateng kesini sambil bawa Mbak yang udah pendarahan, nungguin disini sendiri, selalu bolak balik, hebat ya suami mbak."

Tunggu, suami? Sejak kapan menikah?

"S-su-su-ami?"

"Iya, laki- laki tadi itu suami mbak, namanya  Pak Bima."

"Dimana keluarga saya sus?" Kuberanikan untuk mengeluarkan suaraku karena aku masih ingat, ketika  aku sakit Bunda yang selalu menjagaku.

"Suami Mbak yang bilang biar dia aja yang jagain, katanya Mbak ini udah jadi tanggung jawabnya, romantis ya," ucapnya dengan mendekap papan kerjanya sambil senyam senyum.

Romantis? aku aja gak yakin kalau dia suami aku, bisa aja dia cuma ngaku ngaku dan akhirnya dia menjebak keluargaku, iya kan?

"Suami Mbak kayaknya masih diruangnya Pak Dokter, tapi kok lama banget ya Mbak?"

"Nggak tau, sus." Suaraku masih serak serak walupun kupaksakan untuk bicara.

Cklek

Aku  dan suster itupun mengikuti dimana suara itu berasal, ternyata Ayah dan Bunda, tapi siapa dua orang dibelakang mereka?

"Alana." Bunda berjalan cepat kearahku, begitupun Ayah dengan mata berkaca kaca, suster itu berdiri dan keluar untuk memberi ruang kepada kami.

"Bunda." Kurentangkan kedua tanganku dan kupeluk erat Bundaku. Aku Bunda dan Ayah berpelukan sangat erat.

Bunda melepaskan pelukan kami dan bertanya "Bima mana sayang?"

"Bima siapa Bun?" Aku tak tau siapa yang Bunda maksud, tapi namanya tidak asing lagi di telingaku.

"Kamu lupa sama suami sendiri nak?"

"Aku bahkan gak inget Bun sejak kapan aku nikah?"

"Maaf, Bun sebentar, ada yang mau aku omongin sama Ayah dan Bunda di luar." Pria itu tadi menyebut Bundaku dengan kata Bunda, siap dia dan sejak kapan dia masuk kesini?

"Bunda tinggal sebentar ya Alana, sekarang kamu istirahat dulu atau makan dulu biar Mama Ferlin yang suapin ya sayang."

"Mama Ferlin siapa Bun?" Sepertinya Bunda kaget dengan pertannyaanku.

"Kam-kamu gak inget sayang?" Hanya gelengan kepala yang aku lakukan.

"Ayo, Bun, Bima udah nungguin, Alana, kami tinggal sebentar ya sayang."

Lalu Ayah dan Bunda berpamitan kepadaku dan dua orang yang kuanggap asing, sekarang tinggal kami bertiga di ruang kamar ini.

ALANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang