6.🌼RUMAH KITA🌼

187 15 0
                                    

Aku bersandar pada kepala ranjang, mataku yang belum terpejam ini menatap ke jendela yang belum di tutup sempurna, sesekali aku menatap kamar mandi yang berada di ruangan ini. Ini rumah kami, sederhana dan tidak perlu asisten rumah tangga, kuingat ingat pertama kali keluar dari mobil yang membuatku terkejut adalah halam rumah kami yang luas dengan bangunan rumah yang sederhana.

Aku yang berada di kursi roda dan Kak Bima di belakangku, mendorong masuk ke dalam rumah. Ketika memasuki dapur aku melihat Ayah dan Bunda yang sedang duduk berdua ditemani teh hangat. Aku ingin pelukan Bunda bukan teh hangat yang sedang di minum Bunda, tapi tiba-tiba saja Bunda, berlari ke arahku, mensejajarkan tubuh kami dan membawaku ke dalam dekapannya.

"Bun ... nda ... Hikkss ... Kang... Hikd .. Ngen." Tiba-tiba suaraku menjadi terbata-bata, aku menangis merindukan Bunda dan juga Ayah, tapi sayang yang kupeluk pertama kalinya adalah Bunda, Ayah hanya melihat kami berpelukan, bahkan Kak Bima tidak aku hiraukan.

"Ini, Bunda sayang, udah nggak usah nangis lagi, malu diliatin suami kamu." Suara bunda juga serak, aku pun melepaskan pelukan kita berdua.

"Bunda, juga nangis? Nggak malu diliatin sama Ayah?" tanyaku dengan menunduk, menghapus air mataku.

"Maaf ya, sayang, kita jarang jenguk kamu." kata Bunda, dengan nada sedih, ia juga membantu menghapus air mataku dan mencium keningku sangat lama.

"Ehem, Ayah di lupain nih?" Kulihat Ayah berdiri dari duduknya dan berjalan ke sini.

"Enggak kok Yah, iyakan Bun?" Aku berkata dengan antusias dan menoleh pada Bunda.

"Iya, sini Yah, kita pelukan dulu."

Bunda menganggukkan kepalanya, tak kalah antusiasnya dengan diriku, ini adalah moment yang sangat ku rindukan. Kami berpelukan selama beberapa saat, dan tiba-tiba saja Bunda melepaskan pelukannya.

"Makasih ya menantu Bunda, udah mau jagain Ana yang manja ini." Aku menoleh pada Kak Bima, yang berdiri di belakangku, dia hanya menganggukkan kepala, saat kata manja itu terlontar aku menoleh pada Bunda.

"Bunnnn, aku nggak manja ya."

"Debatnya nanti aja, Papa mau makan dulu, ada yang mau ikut?"

"Mauuu." Aku dan Bunda menjawab bersamaan.

Saat menuju tempat makan kami dikejutkan oleh bel rumah, Kak Bima berpamitan kepada kami untuk membuka pintu. Tak berselang lama Kak Bima datang dengan Mama, Papa dan Laras, yang membawa beragam makanan, sampai sampai Kak Bima kualahan membawanya.

Aku hanya tersenyum menahan tawa, tapi setelah makan, kita semua berkumpul dalam ruang keluarga, tawa yang aku tahan akhirnya terlepas begitu saja bersama-sama.

Kita berbincang bincang tentang masa kecil, aku, Laras dan Kak Bima mengelilingi rumah, dan masih banyak hal lain yang kita lakukan bahkan kami semua lupa waktu. Ketika matahari hampir tenggelam, saat itulah mereka pulang dan rumah ini menjadi sepi.

"Ngalamun lagi hemm?" Suara itu membangunkan ku ke dalam kesadaran, Kak Bima datang dengan celana pendek dan membuka lemari untuk mengambil kaos.

"Enggak kok, cuma liat langit malam aja." Alibiku, padahal mata ini terasa sangat berat, ingin segera tidur tapi kasur sebelah masih kosong, rasanya seperti ada yang hilang.

"Sekarang tidur, besok kamu harus terapi." Ia berjalan ke arahku dan menyibak selimut yang sedang ku gunakan.

"Iya Kakkkkk, aku kan lagi nungguin kakak juga yang lagi mandi, lama banget mandinya," ucapku dengan nada sebal.

"Nggak usah nungguin Kakak kalau mata kamu udah merah, udah ngantuk kan?" Sambil bersandar di kepala ranjang, kepalaku ia sandarkan pada dadanya, tangan kiri yang merangkulku berada tepat di bawah daguku dan itu ku gunakan untuk daguku bersandar.

"Emmm," kataku dengan memejamkan mata, aku tak bisa tidur jika lampu masih menyala, cahayanya seperti matahari di siang hari.

"Kak," panggilku, aku kembali membuka mata dan menoleh padanya.

"Hemb?" Kak Bima menatapku dengan menaikkan sebelah alisnya.

"Boleh minta tolong nggak?" kataku dengan lirih.

"Apa?"

"Tolong matiin lampunya, nggak bisa tidur."

"Ternyata, kebiasaanmu nggak berubah ya?"

"Kebiasaan?" Sejauh mana hubunganku dengan Kak Bima, hingga ia mengetahui kebiasaan ku?Mungkin kita sudah sama-sama suka, padahal kami hanya di jodohkan, menurutku pilihan Bunda memang tepat.

"Dari awal kita tidur bareng, kamu selalu bilang 'matiin lampunya' seakan akan lampu adalah musuh terbesar dalam hidup kamu." Entahlah, saat aku tidur dan ada cahaya, menurutku dia musuh terbesarku.

"Kalau aku sakit lampu memang musuh terbesar aku." Saat sakit aku hanya butuh ketenangan dan cahaya adalah keramaian.

"Kakak tau, nanti ada kejutan setelah lampu mati." Ia melepaskan pelukan kami dan berjalan ke arah saklar

"Kakk ...." Aku memandang Kak Bima, dengan mata yang bersinar terang aku sampai dibuat kagum oleh nuansa kamar ini, mataku berkaca kaca melihat ini. Dulu, aku ingin kamar seperti ini, tapi Bunda tidak mengizinkan dan hari ini, aku bahkan tak akan bosan untuk memandang atap kamar ini.

"Bagus?" pertanyaan macam apa itu? Jelas ini sangat, sangat, bagus. Bahkan ini pertama kalinya, aku melihat kamar secantik ini. Walaupun, aku sering berlibur di negara tetangga, tapi tak pernah aku menjumpai kamar seperti ini.

Ia berjalan ke arahku dan duduk bersandar seperti tadi, "Bagus, banget, nget, nget, nget. Makasih ya kak," ucapku sambil memeluknya, mataku tak henti hentinya memancarkan kebahagian ini.

"Sama-sama, tidur ya," ucapnya sambil mengelus kepalaku.

"Emm." Aku menganggukkan kepalaku dengan cepat, malam ini aku tidur di dalam dekapan seorang laki laki yang di tunjukkan Bunda dan Ayah kepadaku.

⚫⚫⚫⚫⚫

Pagi tadi aku membantu Kak Bima memasak, sebenarnya aku sudah bisa memasak, tapi karena kakiku yang belum gesit, mengharuskan ku untuk melatihnya dulu, dan sekarang aku punya tiga kaki. Kemarin aku tidak di perbolehkan menggunakannya, tapi hari ini, aku berjalan dengan bantuan si tongkat.

Ketika embun masih menyapa mentari, aku berjalan di atas rumput di depan rumah walaupun tidak luas tapi itu cukup, seharunya aku berjalan tanpa tongkat  saja, tapi demi keselamatan aku mengikuti kata Kak Bima. Ia hari ini akan berangkat kerja, jadi aku ditinggal di rumah sendiri. Aku sudah punya list di otakku untuk mengusir ke bosanan yang ada, mungkin saja rumah ini bisa membantuku untuk menemukan ingatanku.

Aku sekarang berjalan menuju belakang rumah, masih ingat jalan kesana karena kemarin aku sudah mengelilingi rumah ini.
Ketika hampir sampai di halaman belakang aku menemukan fotoku yang berada di meja memakai seragam SMA, tapi dengan siapa aku berfoto? Laras? tidak mungkin, jelas jelas ini bukan foto dia, mungkin Kak Bima salah meletakkan foto itu, atau aku akan bertanya padanya nanti, saat pulang, ya nanti akan ku tanyakan.

~TBC~

ALANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang