🌼5.BERCERITA🌼

179 18 5
                                    

Aku, menyenderkan kepalaku ke bahu Kak Bima, kami berdua berada di mobil Kak Bima dengan sopir Ayah, menuju rumah Kak Bima. Lebih tepatnya, rumah yang aku dan Kak Bima tempati, rumah keduaku. Katanya, ini akan menjadi perjalanan yang membosankan, karena sepanjang mata memandang hanya ada mobil yang tak bergerak.

Aku hanya memandang ke depan, dimana lampu lalu lintas tak terlihat karena tertutup mobil yang tak kunjung bergerak ini. Tak tau apa yang  harus kulakukan untuk mengusir rasa bosan di dalam mobil. Aku mengingat  tentang kejadian kemarin, aku tak kuasa untuk menahan rasa senang ini, tiba-tiba tersenyum.

Kemarin, dimana pertama kalinya aku berdebat dengan Kak Bima, hanya karena aku di rumah sakit selama tiga hari untuk mengobati kakiku, aku berdebat dengan dia. Setelah aku terbangun dari tidur panjang, aku mengingat selama tiga hari, dimana aku menjalani pengobatan kakiku, jika ditotal aku sudah berada di rumah sakit selama delapan hari.

Aku yang ingin pulang karena tak tahan lagi jika berada di sana dan Kak Bima yang ingin aku sembuh total selama di rumah sakit, bagaimana bisa sembuh total, jika fikiranku saja melayang kesana kemari selama aku di rumah sakit?

Aku inging makan enak, jalan jalan ke mall, kebun binatang, taman hiburan, dan masih banyak lagi, tapi kenapa dia tidak mau aku pulang? Padahal dia sudah delapan hari di sana, apa tidak bosan? Aku saja yang baru tiga hari merasa jenuh.

Tapi perdebatan itu dimenangkan olehku, seperti halnya dulu, waktu itu liburan sekolah tiba, aku berencana pergi liburan bersama Ayah dan Bunda, tapi Ayah masih bekerja di negara tetangga. Bunda bilang kita tunggu Ayah sampai ke rumah dan kita bisa berlibur bersama, tapi aku menolak, aku bilang pada Bunda, harusnya kita yang mendatangi Ayah dan berlibur di negara dimana Ayah bekerja yaitu negara tetangga. Tentu saja perdebatan itu dimenangkan olehku, aku anak satu satunya dari Ayah dan Bunda.

Aku, memalingkan wajahku dari depan menghadap wajah Kak Bima, aku tersenyum lagi dan beralih memeluknya, aku belum menemukan ingatanku sepenuhnya, tapi perasaan nyaman dan hangat yang ku dapat ketika berada di dekat Kak Bima membuatku tak ingin jauh jauh dengannya, seperti pengantin baru.

"Kak," Aku memanggilnya tapi tak ada jawaban, dia tertidur sejak mobil melaju meninggalkan rumah sakit. Sepertinya dia kelelahan, bagaimana tidak? Dia yang menemaniku selama delapan hari di rumah sakit, mengambil pakaian saja, Kak Bima minta tolong pada Mama. Kata Mama, rumah kami tidak ada asisten rumah tangga, semua dikerjakan olehku dan Kak Bima. Kami saling membantu satu sama lain dalam membereskan rumah.

Kak Bima tidak bilang kalau dia tidur, maka kuberanikan diri untuk bersender di pundaknya bahkan beralih memeluknya. Kembali mengingat waktu di rumah sakit, saat bangun tidur, aku melihat Kak Bima yang berada di depan kaca kamar inap ku, dia memiiki kulit sawo matang, badan yang kekar, ia memiliki rambut rambut halus di sekitar dagunya, terlihat dari ranjang rumah sakit ini dia begitu 'Tampan' ya, satu kata itu untuk Kak Bima.

Dia bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang  makanan instan, Kak Bima hanya membantu Papa, menggantikan meeting jika Papa berlibur bersama Mama atau keadaan genting lainnya. Berbeda dengan Papa, Mama punya warung makan walaupun bukan di restoran, tapi tempat yang nyaman, harga yang pas di kantong, juga makanan yang enak, membuat warung makan itu penuh dengan pelanggan. Bisa di bilang Mama wanita karier tapi masih bisa mengurus keluarga.

Tiba tiba aku merasa ada menepuk pipiku, aku menggeliat dan mengeratkan pelukan pada tubuh Kak Bima.

"Na, bangun Na." Itu suara Kak Bima, ada juga  tepukan di pipiku. Iya, aku tau namaku Alana, dan di panggil Ana, tapi aku masih ingin tidur, jangan  di ganggu.

"Udah sampai, mau di gendong apa jalan sendiri?" Kak Bima, juga Amnesia sama kaya aku ya? Kakiku belum sempurna jika berjalan, kalaupun pakai kaki tambahan Kak Bima tidak memperbolehkan, katanya itu hukuman karena tidak ingin sembuh total di rumah sakit. Dan sekarang aku pakai kursi roda, setiap minggu diharuskan kontrol ke dokter, entah sampai kapan aku begini.

"Bentar Kak, engghhh." Tidak ada tepukan di pipi melainkan belaian lembut, membuatku betah ingin tidur lagi.

"Mama sama Papa udah nungguin, Na." Perkataan Bima yang padat dan jelas itu membuat efek yang begitu besar padaku.

"Apa! Kenapa nggak bilang dari tadi sih." Aku yang semula memeluk badan Kak Bima dan bersender di dadanya, terkejut dan menjauh.

"Tenang Na, kita lagi di mobil." Disaat aku panik begini, dia berbicara dengan santainya? Isssh, tak mengerti perasaan seorang istri.

"Ya, siapa tau mereka ngintip di luar mobil?" kataku, dengan menengok kenan ke kiri depan juga belakang, siapa tau mereka tiba tiba muncul, kan?

"Mama sama Papa belum ke sini, mungkin nanti malam mereka datang ke sini."  Seketika aku menatap Kak Bima, dengan mata melotot juga mulut yang menganga lebar, sedangkan Kak Bima, menatapku dengan bibir  menahan tawa.

"Ihhh, Kak Bimaa kok gituu sihh." Tanpa kata aku memukuli  wajah Kak Bima dengan kedua tangan terkepal, tapi dia melindungi diri dengan kedua lengan.

"Udah Na, udah, nanti tetangga dateng kesini." Seruan Ka Bima tak, ku hiraukan, terus pukul dan pukul.

"Bodoamat, aku juga gak tau tetangga kita siapa." Ingin ku pukul lagi dia, tapi dia menghidar ke kanan dan ke kiri, walaupun kita berada di bangku belakang dan duduk bersebelahan di dekat pintu, Kak Bima tidak membuka pintu untuk pergi, tetapi memilih menghindari serangan ku.  Sekilas, aku melihat ke kursi depan, sopir yang mengendarai mobil ini sudah tak ada, entahlah.

"Masalahnya kita di mobil Na," kata Kak Bima, ia masih melindungi dirinya.

"Ya terus, apa masalahnya?" Pukulan ku semakin brutal, walau tak kuat, tapi pukulanku itu cepat.

"Mobilnya goyang goyang Na." Kak Bima yang tadi bergeser ke kanan ke kiri, sekarang hanya diam dan masih melindungi dirinya.

"Goyang, goyang?" Serangan tangaku berhenti, ketika mendengar kata itu, apa maksudnya?

"Dulu, ada warga yang melakukan penggerebekan di mobil, tau taunya laki laki sama perempuan yang belum sah jadi suami isti ngak pakek baju, apa lagi yang dilakukan mereka selain ...?" Kak Bima menatapku, ia bercerita dengan memajukan tubuhnya hingga tubuh kami hampir bersentuhan, tapi aku terus menggeser tubuhku.

"Ihhh, serem tau Kak, jangan gituu." Kak Bima bercerita dengan nada serius, menatap mataku dengan tajam, membuatku merasa takut.

"Emang kenyataanya gitu, kamu mau aku melakukan hal yang sama, seperti ceritaku tadi?" Semakin Kak Bima mendekat padaku, aku semakin menjauh, bahkan aku merasakan benda keras, berada di belakang tubuhku, mungkin itu pintu mobil.

"Enggak." Saat tidur aku duduk di bangku sebelah kanan mobil, setelah mendengar cerita Kak Bima aku malah duduk di bangku kiri mobil.

"Enggak mau nolak hem?" Aku tak bisa berbuat apa apa, selain menahan nafas ketika Kak Bima memajukan tubuhnya, satu tangannya kanannya berada bergerak ke belakang tubuhku.

Cklek

"Yuk turun, udah kebuka pintunya." Kak Bima mengarahkan dagunya, ke belakang tubuhku, mengisyaratkan agar turun tapi aku masih diam. Perlahan lahan menghembuskan nafas dengan memejamkan mata, saat aku membuka mata, Kak Bima sudah tidak ada, mungkin dia sudah turun.

~TBC~

ALANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang