🌼7.MAKAN MALAM🌼

168 15 2
                                    

Gadis yang di foto itu saling merangkul bahu temannya satu sama lain, aku dan Viona tampak bahagia dengan tersenyum hingga menampakkan gigi kami. Tak ku sangka, itu adalah foto terakhir kami di negara ini, Viona adalah temanku waktu SMA. Kami pertama kali bertemu saat MOS saat itulah kami akrab satu sama lain, sekarang dia telah pergi jauh dari tempat dimana saat ini aku tinggal. Viona ingin sekali menjadi dokter dan itu cita citanya dari kecil, mendapat gelar dokter di negara tetangga yang ada di eropa adalah bonus dari ke dua orang tuanya.

Kedua orang tua Viona sangat mendukung Viona untuk menjadi dokter, tak heran mereka mengirim Viona ke benua eropa, karena hanya benua itu yang ingin di tempati Viona. Bahkan, orang tua Viona juga menetap di benua itu demi menemani Viona, Viona adalah sahabatku satu satunya.

Saat aku menginjakkan kaki di SMA, aku bertekad untuk menutup diri dari dunia pertemanan karena aku tidak ingin kejadian kemarin terulang kembali. Aku hanya punya satu sahabat, jika ingin bertanya tentang teman, aku punya banyak teman, teman sekolah, teman main, teman belajar dan masih banyak lagi teman yang tak bisa kusebut satu per satu.

Sangat berat bagi Viona untuk meninggalkan aku disini, karena memang hanya dia sahabat yang aku punya, dia tidak ingin meninggalkanku di sini sendiri. Ketika Viona tau jika aku sudah punya suami, Viona mengubur dalam dalam impian itu, Viona akan melanjutkan sekolahnya disini dan akan menjagaku dari laki-laki itu.

Viona berfikir, mungkin saja, laki-laki itu hanya ingin harta orang tuaku, mungkin saja, laki-laki itu punya wanita lain selain aku, mungkin saja laki laki itu, mungkin saja, mungkin saja, dan masih banyak lagi kemungkinan yang Viona ciptakan untuk tinggal di sini bersamaku.

Tapi, aku meyakinkan dia bahwa aku akan baik-baik saja, laki-laki itu nantinya yang akan menjagaku dan akan menggantikan tugas Ayahku. Aku mengikhlaskan Viona untuk pergi demi cita citanya yang mulia, aku akan mendukungnya. Laki-laki itu adalah Kak Bima, ia yang akan menjagaku menggantikan tugas Ayah Ardi, Ayahku.

Setelah mendengar cerita dari Kak Bima aku menangis dalam pelukannya.

"Nanti, kalo kita punya waktu, kita jenguk teman kamu, oke?"

Setelah mendengar bisikan dari Kak Bima, aku mendongak menatapnya, "Be ... be-beneran?"

Dia menganggukkan kepala, "Kakak Mau liat kamu jalan, Kakak masih nggak percaya, kamu  sudah bisa jalan sendiri."

Dengan semangat aku melepaskan pelukan Kak Bima, mengenakan dress selutut bermotif bunga, aku berdiri berjalan tiga langkah ke kanan dan lima langkah ke kiri, berputar putar menunjukkan pada Kak Bima, kalau aku bisa berdiri dan berjalan tanpa menggunakan tongkat, kakiku sudah sembuh.

Baru saja aku lupa, jika aku menangis dan sekarang aku tertawa karena dapat berjalan lagi, malam ini aku bahagia,tertawa juga menangis di saat yang bersamaan.

Tiba-tiba ada seseorang yang memelukku dari belakang, dagu orang ini di letakkan di atas pundakku, bau parfumnya dapat ku cium, begitu menenangkan, ia tak asing lagi di hidungku. Siapa lagi kalau bukan suamiku.

"Kak Bima! Aku kira tadi siapa, rasanya jantungku mau copot tau!?"

"Maaf." Wajahnya ia benamkan di leherku, mungkin dia rindu padaku, tapi belum 24 jam ia meninggalkanku, apakah  rindu memang benar-benar menyiksa?

"Iya, nggak papa, harusnya aku yang minta maaf. Kakak pulang belum mandi dan makan, udah aku suruh cerita panjang lebar."

Setelah Kak Bima turun dari mobil dan masuk ke rumah, aku menyeretnya ke ruang keluarga, mendesak Kak Bima untuk menceritakan siapa perempuan itu, bahkan takku hiraukan pertanyaan Kak Bima kenapa aku bisa berjalan tanpa tongkat.

ALANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang