Part 1

13.6K 853 117
                                    

Memiliki kekasih dengan hobi yang sama tentu sangat menyenangkan. Seperti itulah bagi Prilly. Daffa adalah lelaki yang sangat Prilly cintai. Dia tampan walau sedikit nakal. Bukan karena hal itu saja yang membuat Prilly menyukainya, tetapi juga karena Daffa memiliki hobi yang sama dengannya.

Sejak kecil Prilly sangat menyukai hal-hal yang berhubungan dengan seni. Daffa bergelut dalam bidang fotografi, sementara Prilly dalam bidang melukis. Keduanya kerap mendatangi tempat-tempat indah, mengekspresikan kekaguman masing-masing dengan cara yang berbeda. Daffa dengan kameranya, sementara Prilly dengan media kanvasnya.

Mereka adalah pasangan bahagia yang terkenal di kampus. Julukan seperti itu selalu membuat Prilly berseri-seri tiap mendengarnya. Apalagi jika ada seseorang tiba-tiba mengatakan, "Lo tuh cocok banget sama Daffa, sumpah!" Rasanya seperti terbang ke langit yang tinggi.

Prilly membayangi hubungannya dengan Daffa terus berlanjut, hingga mereka lulus kuliah, lalu memiliki pekerjaan karena hobi yang sama-sama menyenangkan, dan menikah. Ah indah sekali bukan?

Membayangi hal itu membuat Prilly tersenyum-senyum sendiri sambil menggerakkan kuasnya di permukaan kanvas.

Ckrek!

Prilly menoleh mendengar suara di dekatnya dan melihat Daffa tengah memegang kamera. Lelaki itu baru saja memotret dirinya.

"Cantik," komentar Daffa.

"Kamu diam-diam foto aku lagi kan?" Protes Prilly.

"Habisan kamu senyum-senyum sendiri gitu, pas banget senja datang jadi keliatan makin cantik."

Prilly memalingkan wajahnya dengan pipi merona. Daffa selalu saja menggodanya.

"Senjanya indah banget, Daf. Aku betah berlama-lama di bukit ini."

"Aku juga," balas Daffa, "Apalagi sama kamu." Daffa mendekat melihat hasil lukisannya. Terlihat sebuah pemandangan kota yang diselimuti oleh senja pada permukaan kanvasnya. Hasil goresan cat minyak berwarna jingga di atas kanvas itu sangat indah seakan dilukis oleh pelukis profesional.

"Nggak pernah ngecewain, selalu cantik hasilnya, seperti yang buat."

"Gombal aja terus."

"Kenyataan kok," Daffa mengedipkan sebelah matanya, "Pulang yuk? Papa kamu pasti nyariin kamu."

"Nanti, Daf. Senja baru juga datang, masa kita langsung pulang?"

"Tiap yang datang pasti akan pergi, begitu juga dengan senja, Sayang."

"Tapi aku mau kita di sini dulu sebentar aja, boleh ya?"

"Boleh, tetapi jangan sampai gelap malam menelannya atau dunia kamu yang berubah gelap karena kemarahan Papa kamu." Ucapan Daffa itu membuat Prilly mengangguk, kemudian menaruh palet dan kuasnya di dalam tas. Daffa membawanya duduk di rerumputan tepat di bawah pohon. Tangan Daffa merangkul pinggulnya dengan mesra. Mereka berbagi cerita, membayangi masa depan bersama yang begitu membahagiakan.

Hingga mereka lupa waktu.

Mereka baru meninggalkan bukit itu ketika gelap malam sudah menyelimuti senja. Seperti sinarnya yang menghilang, kebahagiaan pun sirna ketika Prilly tiba di rumah.

Di teras rumah, papanya sudah menunggu dengan wajah merah padam juga mata yang tajam. Sementara itu Prilly baru saja turun dari jok motor Daffa di depan gerbang.

"Makasih ya Daf, kayaknya kamu nggak perlu mampir deh. Takutnya papa malah marahin kamu," ucap Prilly sambil melepaskan helm di kepalanya dan memberikannya kepada Daffa.

"Aku bisa jelasin ke papa kamu, Pril. Kita nggak sengaja pulang sampai malam begini."

"Biar aku aja yang jelasin ke papa. Kamu pulang aja ya? Hati-hati di jalan, sampai ketemu besok di kampus!"

Marry With Boss 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang