Sejak hari itu Prilly selalu merasa sedih, walau dia kerap menutupinya dengan senyuman dan tawa di hadapan Ali tetapi tanpa dia sadari suaminya itu beberapa kali menangkap wajah murungnya.
Prilly sering kali terlihat menghubungi papanya. Namun, tidak pernah mendapatkan jawaban. Hal itu membuat Ali akhirnya datang ke kantor di mana Revan bekerja.
Saat tiba di kantornya Ali tidak disambut dengan baik. Bukannya menyambut seorang menantu, Revan berlaku seperti menyambut rekan bisnisnya.
"Apa yang membuat Anda datang kemari, Tuan Alfairali Nathaniel?"
Ali tersenyum mendengarnya, kemudian tanpa diminta dia langsung duduk di hadapan meja Revan.
"Saya datang ingin bicara dengan ayah mertua saya," ucapnya dengan tenang. Revan di hadapannya menghela napas dan mengalihkan perhatian dari layar komputernya menatap Ali dingin.
"Saya sedang sibuk, apa yang ingin kamu bicarakan?"
"Mengenai Prilly, putri papa. Tolong maafkan dia dan jawab panggilannya," jawab Ali tanpa berbasa-basi.
Revan terkekeh mengejek, "Apa kamu tidak sadar saya juga marah dengan kamu karena kamu mengizinkan dia untuk melakukan apa yang sudah saya larang?"
Ali tersenyum, "Apakah papa lupa sejak saya menikahinya, dia menjadi tanggung jawab saya bahkan kebahagiaannya?"
Revan terdiam.
"Saya mohon untuk hentikan larangan papa yang tidak masuk akal itu. Prilly sangat senang melukis maka dari itu saya mengizinkannya. Jika melukis membuatnya bahagia mengapa saya harus melarangnya?"
"Dia sudah berjanji untuk menjauhinya," balas Revan.
"Saya tahu, pah. Saya pun sudah mengingatkannya, tetapi ternyata itu membuatnya sangat sedih. Lagipula saya pikir itu sama sekali tidak merugikannya. Papa melarangnya hanya karena sebuah alasan yang tidak diketahui olehnya. Papa masih belum bisa melupakan masa lalu papa."
Ali melihat Revan diam termenung.
"Prilly hidup di masa sekarang, dia berbeda dengan ibunya. Kenapa papa melarangnya melukis? Bagaimana bisa seorang ayah menghentikan kegiatan yang membuat putrinya bahagia?"
"Diam kamu Ali! Kamu tidak mengalami apa yang sudah saya alami di masa lalu!" Revan terpancing emosi.
"Saya memang tidak mengalaminya, tetapi saya tahu hal menyakitkan di masa lalu memang membuat seseorang memiliki ketakutan besar bahkan di masa sekarang. Tetapi apakah papa tidak memikirkan kebahagiaan putri papa sendiri?" Revan hanya diam di hadapannya membuat Ali muram mengalihkan pandangannya ke jendela. "Atau karena dia bukan putri kandung Anda?"
"Jangan coba bahas hal itu di hadapan saya!"
"Kenapa?" Kini Ali menatap Revan dingin, "Anda takut Prilly mengetahuinya? Apa pun yang menyangkut kebahagiaan dia, saya akan menghalalkan segala cara untuk menghapus kesedihannya, termasuk membuat dia melupakan Anda."
"Apa maksud kamu, Ali?"
Ali pun menghela napas sejenak, "Sejujurnya saya sudah muak dengan larangan Anda. Sejak kecil dia mendapatkan perlakuan tidak adil, tidak disayangi oleh orang yang dia pikir ayah kandungnya. Apa kesalahannya sehingga Anda begitu melarangnya melukis? Saya yakin Anda tidak punya jawabannya karena jelas sekali dia tidak melakukan kesalahan apa pun. Larangan itu terjadi karena masa lalu Anda."
Ali berdiri meninggalkan kursinya, tetapi dia masih bertahan di hadapan Revan, "Anda boleh kecewa dengan saya karena saya sudah mengizinkannya melukis tetapi Anda harus tahu satu hal bahwa sebelum saya bertemu dengan Anda saya sudah berjanji dengan ayah kandungnya. Apa pun yang terjadi saya akan membahagiakannya. Tidak ada yang bisa menghentikan kebahagiaan istri saya bahkan Anda sekalipun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry With Boss 3
Fanfiction[AliPrilly Fanfiction] Segala hal dalam cerita ini adalah fiksi, tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata nama tokoh yang digunakan. Harap menjadi pembaca yang bijak! Nggak pake sinopsis biar penasaran :p Jangan lupa tambahkan ke library/reading...