KiWi [3]

179 24 0
                                    

[Tega kamu Ki, nyakitin aku.]

Sekali lagi aku membaca pesan yang Randu kirim dua hari lalu.

Entah siapa yang memberi kabar padanya perihal pernikahanku dengan Wira, tetapi yang jelas lelaki itu mengetahuinya dari orang lain.

Selama khitbah sampai akad berlangsung semua aku sembunyikan dengan rapat, tidak seorang pun teman kuberitahu karena pernikahan berjalan sesuai syariat. Tanpa ikhtilat apalagi pesta mewah. Aku mengikutinya semata-mata untuk membahagiakan Bunda dan juga berbakti kepada orang tua.

Satu yang kuyakini, mereka tidak akan memilihkan lelaki buruk untuk anaknya. Apalagi, aku juga sudah mengenal Wira. Dia baik, bertanggung jawab terhadap apa yang digenggamnya. Aku percaya akan bahagia, dan tidak lagi bersedih hati.

"Kiran," tegurnya dengan lembut.

Untuk seperkian detik aku gelagapan, ternyata lamunanku sudah terlalu jauh. "Ah, iya Wi. Kamu ngomong apa?"

"Aku tanya dari tadi kamu mau makan malam apa, Ki? Biar aku belikan di luar."

"Nasi goreng spesial sama jus jeruk!"

"Jus jeruknya nggak usah ya, Ki, enggak baik minum es malam-malam."

"Aku udah biasa kok minum es di malam hari." Nada suaraku meninggi, menatap Wira tajam. Aku paling benci dilarang makan dan minum yang kuinginkan.

Wira pergi meninggalkanku setelah mengingatkan untuk ke sekian kalinya agar tetap di dalam rumah. Percaya tidak percaya Wira berubah menjadi overprotektif.

Sosoknya yang kukenal cuek kini menjadi ingin lebih tahu apapun yang aku kerjakan. Mulai dari memperhatikan kegiatanku sampai melarang ke luar rumah, sungguh menggelikan. Namun, selama masih hal yang wajar aku selalu berusaha mengikuti seluruh perkataannya.

Membuka kembali pesan Randu, aku memutuskan membalasnya. Sebagai teman yang baik aku harus memberikan kabar dan kepastian padanya. Kasihan digantung terus menerus.

[Maaf, udah takdir Ran.]

[Aku pengen ketemuan, buat yang terakhir, Kii. Plis!]

Jantungku berdebar kencang sekali.

Kutatap lekat daun pintu dengan perasaan was-was, menantikan seseorang muncul dari luar. Wira. Kuyakini jika dirinya membaca pesan ini, maka aku pastikan Wira akan marah, lantas buru-buru aku menghapusnya.

"Assalamu'alaikum!"

"Loh, Ki, kamu kok keringatan begini?" tanya Wira menghampiriku cepat, sebelum sempat kujawab salamnya.

"Anu ... Gerah Wii."

"Perasaan dingin deh, Ki, kan barusan aja hujan deras." Wira tampak cemas dan panik.

Mataku terpejam saat Wira menyentuh dahi, lalu mengusap peluh yang bercucuran. Tangannya yang membelai halus membuatku sedikit tenang.

"Makan ya kamu, pasti kelaperan." Dengan pengertian Wira mengambil piring, lalu menghidangkan untukku.

"Jus jeruknya mana?" tanyaku bawel.

"Nggak aku beli, minum air hangat aja."

"Gimana sih kamu, Wi? Aku kan udah bilang beliin jus jeruk. Jangan kamu sama ratakan dong aku dengan orang yang nggak bisa minum es malam hari!"

Meletakkan sendok makanku, dengan sebal aku bangkit menuju kamar. Rasa lapar dan selera makan hilang. Ternyata hidup melajang jauh lebih baik ketimbang berpasangan, yang membuat semua kehendak terbatas. Membuang badan, semampunya aku tidak melihat ke arah Wira saat lelaki itu datang.

Mantan Pacar ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang