KiWi [15]

237 8 1
                                    

Setelah berdebat dengan akal dan pikiran akhirnya aku memutuskan berpisah dari Wira, sebelum semuanya terlambat. Wira yang baik tidak pantas untuk wanita hina sepertiku. Kalimat itu terus terngiang di kepala, menghantui di sepanjang malam.

Memasukkan seluruh pakaian milikku ke dalam koper, aku tidak ada pilihan selain pulang ke rumah kedua orang tua. Sejahat apapun seorang anak, orang tua kita pasti akan selalu memaafkan, apalagi aku adalah korban. Untuk bercerita kepada Bunda bagiku tidak sulit, wanita itu akan mengerti dan membantu masalah yang dihadapi anaknya.

"Kiran, kamu mau kemana?" Wira tergesa-gesa menghampiri. Dia baru saja pulang dari masjid melaksanakan salat subuh.

"Aku mau kita pisah, Wi."

"Astaghfirullah, Kiran." Tatapan Wira berubah sendu, wajahnya menegang. "Kamu nggak bisa ambil keputusan sendiri, Ki. Dalam Islam seorang istri nggak berhak menggugat cerai, dan aku ingin mempertahankan rumah tangga kita tanpa adanya penggugatan."

"Kok ribet banget sih kamu, Wi." Aku menatap Wira, mati-matian menahan diri untuk tidak menangis.

"Aku nggak bolehin kamu pergi, kamu harus tetap di sini." Dengan cepat Wira menarik koper yang aku pegang, lantas mengeluarkan isi di dalamnya.

Menghela napas, tanpa mendengarkan perkataan Wira aku berlalu begitu saja. Kedua kaki ini melangkah cepat menuju pintu keluar, mengabaikan panggilan Wira yang lembut dan menyayat hati. Saat air mataku jatuh, buru-buru aku menghapusnya, di hadapan Wira aku ingin terlihat tegar.

"Kiran, aku salah apa?" Memejamkan mata, aku bersikukuh untuk tidak menoleh saat Wira berhasil menjangkau pergelangan tanganku.

Bukan kamu yang salah, Wi, tapi aku.

"Aku siap mendengar, Ki, ceritakan seluruhnya. Aku suami kamu, akulah orang pertama yang wajib menolong kamu, dan aku tahu apa tugasku."

"Mungkin, kalau kamu tau yang sebenarnya, aku yakin kamu akan pergi. Maka dari itu sebelum kamu memutuskan pergi, membuat hatiku semakin hancur, jadi aku memilih yang meninggalkanmu terlebih dulu."

"Ki, kamu ngomong apa? Kalau kamu ada masalah cerita sama aku. Tolong, jangan membuatnya semakin rumit."

Menggeleng beberapa kali, akhirnya tangisku pecah dan tidak terkendali. Wira langsung memelukku, berusaha mengubah keputusan yang aku ambil dengan kata-kata sederhananya, tetapi cukup mengenai hati. Dengan seperti ini aku semakin merasa berharga di mata Wira, dan itu sangat menyakitiku.

"Cerita sama aku ya." Dia membujuk.

Sekali lagi aku menggeleng, sepertinya aku tidak akan pernah sanggup untuk berterus terang kepada Wira. "Maaf, aku nggak bisa."

"Kiran, aku suami kamu," katanya lagi.

"Aku belum siap, Wi." Menyeka air mata yang tidak kunjung surut, aku pun berlalu semakin jauh ke depan.

"Ki, biar aku antar." Dengan sigap Wira menggenggam tanganku, seakan takut jika aku benar-benar meninggalkannya. "Nanti sore pulang dari ngajar aku jemput."

Aku diam saja, tidak mengatakan iya atau tidak, yang jelas untuk saat ini aku hanya ingin berada di pelukan Bunda. Menceritakan seluruhnya dan mencari solusi yang terbaik bersama. Urusan Wira aku masih tidak tahu mau dibawa kemana hubungan ini? Jujur! Aku sudah mencintainya lagi, seperti dulu, tetapi keadaan memaksa supaya aku memendamnya lebih lama.

Hingga sampai di depan rumah kedua orang tuaku sorot mata Wira masih terlihat begitu redup, menyampaikan rasa takut yang sangat besar. Namun, bukan Wira namanya jika tidak berusaha untuk tetap tenang, apalagi dia termasuk orang yang tidak ingin membuat orang lain mengkhawatirkan dirinya.

"Aku berangkat ngajar ya, maaf nggak bisa mampir, sampaikan salamku pada Ayah dan Bunda." Wira mengusap puncak khimarku, memberikan senyuman terbaiknya.

Mengangguk paham, aku sangat mengerti jika Wira sudah terlambat.

"Kamu langsung masuk ya," katanya.

Kali ini aku terdiam, cukup lama, memikirkan sesuatu yang tidak aku ketahui itu apa. "Wi ..."

"Iya, Ki."

"Hati-hati." Sebelum berlalu menuju pintu masuk, aku tersenyum tipis.

Sambil menunggu Bunda membuka pintu aku duduk di bangku yang tersedia, menutup wajah dan aku menangis sejadi-jadinya. Rasa sakit yang kupendam sejak di rumah, kini luruh bagaikan arus yang kencang. Tidak lama Bunda muncul, matanya menyiratkan rasa simpati yang besar. Sebelumnya aku memang sudah memberitahu Bunda, jika aku sedang dalam masalah, sehingga wanita itu tidak lagi kaget melihat anaknya kacau.

"Bundaaa." Memeluk wanita yang sangat kucintai itu, aku pun menangis kencang.

"Sabar, Kak." Bunda menepuk-nepuk pundakku, memberikan sedikit ketenangan. "Ayo, masuk! Ceritakan pada Bunda apa yang terjadi."

Mengambil bantal kesayanganku yang tergeletak di atas kasur, dengan rindu aku memeluknya erat. Menumpahkan seluruh perasaan yang ada dalam dada. Untuk ke sekian kalinya air mataku kembali menetes, dan kupikir tidak akan pernah bisa berhenti. Kejadian menjijikkan itu terus berputar di ingatan, membuatku semakin dihantui perasaan bersalah.

"Minum teh hangat dulu, Kak, Bunda tahu kalau kamu belum sarapan. Setelah itu beritahu Bunda apa inti permasalahannya."

Menerima segelas teh hangat yang Bunda berikan, perlahan aku mulai menyesapnya, lalu berkata dengan bibir bergetar. "Kiran diperkosa Randu."

"Astaghfirullah, Kak."

"Kiran nggak tahu harus ngapain, Bun."

"Wira belum tahu?"

"Belum."

"Kak, ini bukan masalah yang kecil, bagaimanapun kamu harus cerita pada Wira."

"Kiran takut, Bun."

"Inilah yang Bunda takutkan di awal saat kamu masuk anggota sepak bola, dengan cara instan, dan memanfaatkan Randu di balik itu semua."

"Bunda, Kiran nyesel."

"Terlambat, Kak, sekarang kamu udah membayar seluruh jasanya dengan harga diri. Akibatnya apa? Kamu sendiri yang rugi."

"Bunda ..." Aku memeluk bantal kesayanganku dengan kencang.

Wanita setengah baya yang masih terlihat cantik itu menghela napas panjang. Rautnya yang semula penuh kasih, berubah menjadi merah padam. Aku sadar ini semua adalah sebuah kesalahan, dan kini aku menuainya dengan tidak terhormat.

"Demi Allah, Bunda nggak pernah ridho, dan nggak terima kamu dilecehkan." Tatapan Bunda menerawang jauh, tanpa kusangka air matanya jatuh.

"Bundaa, jangan menangis." Dengan cepat kupeluk tubuh Bunda yang penuh kehangatan, tidak ingin melihatnya bersedih apalagi karena diriku.

"Yaudah, sekarang kamu istirahat, Kak. Pulang Ayah nanti Bunda akan menceritakan seluruhnya, dan mencari solusi terbaik. Kak, Bunda minta tolong kamu juga harus ngomong pada Wira secepatnya, karena dia berhak tahu dan kita bisa dengan cepat menyelesaikannya."

"Bunda, Kiran minta maaf."

"Iya, Sayang." Dengan lembut Bunda mengecup keningku, "istirahatlah, tenang, jangan banyak pikiran."

Sesaat Bunda meninggalkan kamar, sontak tangisku kembali pecah. Aku menangis tersedu-sedu, menyesali apa yang telah terjadi. Ternyata aku tidak hanya menyatiki diriku sendiri, tetapi aku juga melukai orang-orang yang kusayangi. Tiba-tiba aku teringat akan absensi hari ini, maka dengan cepat aku mengambil ponsel hendak menghubungi Nada.

Keningku mengernyit melihat pesan dari nomor yang tidak dikenal.

0821xxxxxxxx

Sayang, aku cuma mau ngasi tahu, tanding bola kita diundur jadi bulan depan. Ini nomor baruku, jangan diblokir lagi. Kiran, aku cinta kamu.

Randu

Sontak aku melempar ponsel ke sembarang arah. Dadaku bergemuruh, meringkuk di bawah selimut seperti orang ketakutan. Hanya membaca namanya saja sudah membuatku panas dingin.

Mantan Pacar ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang