KiWi [6]

143 17 0
                                    

Jam menunjukkan pukul 3 dini hari. Aku terbangun saat mendengar suara derit pintu, ternyata Wira yang hendak melaksanakan tahajjud. Sebenarnya aku baru saja tertidur, setelah berdebat panjang lebar dengan hati dan perasaan sendiri. Sebab, Wira lebih memilih mendiamkanku daripada memarahi seperti yang kemarin. Hal itu membuatku bertambah stres sehingga harus mengintropeksi diri. Mungkin, untuk kali ini memang aku yang salah. Pesan yang seharusnya aku kirim pada Randu, malah terkirim kepada Wira.

Dari samping aku mengintip gerak gerik Wira dengan sebelah mata, berusaha untuk tidak terlihat olehnya. Ingin sekali aku mengajaknya berbicara, tetapi aku ragu memulai. Antara malu dan takut yang paling mendominasi. Nasehatnya pada waktu itu cukup membuatku sakit hati, jadi aku putuskan untuk menunggunya.

"Kiran, maafin aku." Dengan lembut Wira mengecup keningku, membelai kedua pipi hingga pangkal hidungku.

Untuk seperkian detik aku menahan napas, berusaha untuk tetap tenang supaya tidak ketahuan jika aku hanya berpura-pura tidur. Rasanya seperti mimpi. Kami memang pernah berpacaran, tetapi baru kali ini Wira menciumku. Ciuman pertama kami.

"Apapun kesalahan yang kamu lakukan, sampai membuatku sakit hati, entah kenapa aku masih sangat mencintaimu." Dia berkata lirih.

Jantungku bertalu-talu, aku melayang.

"Besok kita selesaikan baik-baik, maaf, tadi udah mendiamkanmu," lanjutnya.

Setelah mencurahkan perasaannya Wira pun kembali naik ke tempat tidur, lalu memunggungiku. Menatap langit atap sesekali aku meliriknya, dengan perasaan dan pikiran yang sejalan. Namun, tiba-tiba ingatanku jatuh pada kejadian dua hari setelah kami menikah, Wira mengajakku berhubungan tetapi aku menolaknya, hingga detik ini dia tidak pernah lagi memintanya.

"Wira," panggilku.

Hening. Tidak ada sahutan.

"Udah tidur ya?" tanyaku lebih kepada diri sendiri, lalu memutar tubuh.

Sampai menjelang subuh pun aku juga belum tertidur. Segala posisi tidur terbaik sudah aku terapkan, tetapi perasaanku masih terasa ada yang mengganjal. Seperti bukan diriku.

Tok! Tok!

"Assalamu'alaikum." Seseorang di luar memberi salam, aku bisa mendengarnya.

Enggan bangkit aku sengaja membiarkan Wira yang membuka pintu, udara dingin yang menusuk membuatku bertambah malas bangun. Mengencangkan selimut aku mencoba terpejam lagi, berharap bisa tertidur dengan lelap. Tadi malam ketika hendak buang air aku kedatangan tamu sehingga sekarang libur salat.

"Innalilahi wa innalilahi raji'un."

Suara berat Wira yang khas terdengar sampai kamar. Aku terperanjat dan langsung berlari keluar. Ada Pak RT bersama seorang temannya berdiri di ambang pintu, buru-buru aku masuk kembali untuk mengambil jilbab.

"Ada apa Wi?" tudingku tidak sabar.

"Kamu harus tenang dulu."

"Katakan Wi, ada apa?!"

"Ayah kecelakaan di jalan lintas saat pulang lembur tadi malam."

Ya Allah, tubuhku melemas, otot-otot persedianku bagaikan kapas. Untung Wira menyangga dengan cepat, lelaki itu langsung membawaku duduk dan menenangkan. Dengan tubuh gemetar aku menangis, membayangkan hal yang terburuk menimpa ayah. Kendati aku belum siap ditinggal pergi olehnya, apalagi harus melihat bunda bersedih.

"In sya Allah, Ayah baik-baik aja Ki." Dengan penuh kasih sayang Wira memelukku erat, menentramkan hati yang ketakutan.

"Aku mau jenguk Ayah," cicitku pilu.

Mantan Pacar ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang